Filosofi Pribahasa Baduy
Filosofi Pribahasa Baduy
Disusun oleh:
Nama: Siti Mariyam
Nim: 2227150066
kelas: 3 B (PGSD)
Kehidupan masyarakat Baduy berbeda
dengan masyarakat pada umum. Mereka
memiliki ciri khas tertentu seperti sistem sosial, organisasi sosial,
kepemimpinan, lembaga adat, upacara, sistem religi dan interaksi sosial.
Masyarakat Baduy tidak mengenal budaya tulis sehingga segala macam hal
“diabadikan” dalam tradisi lisan, termasuk hukum-hukum tradisi kehidupan mereka
secara menyeluruh. Dari budaya lisan itulah pada akhirnya masyarakat Baduy
terkonstruksi oleh masyarakat umum sebagai masyarakat “terpinggirkan.”
Delapan klasifikasi “pepatah” yang ada
di Baduy dan menjadi buyut yang tak boleh dilanggar. Kedelapan klasifikasi
“pepatah” itu adalah taat pada hukum, penegakan hukum, pemeliharaan terhadap
alam, pepatah untuk pemimpin, tolong-menolong, hidup/bekerja, kebersamaan,
pepatah pertanggungjawaban. Konsep lisan yang muncul di dalam kehidupan
masyarakat Baduy mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan struktur dari
“pepatah” tersebut. Disini akan dibahas emapat konsep pepatah atau pribahasa
Baduy sebagai berikut:
“gunung teu
meunang dilebur, lebak teu meunang diruksak, lojor teu meunang dipotong, pendek
teu meunang disambung,” yang artinya (gunung tidak boleh dihancurkan, lembah
tidak boleh dirusak panjang tidak boleh dipotong pendek tidak boleh disambung).
Secara umum, kalimat-kalimat yang dimunculkan di
dalam pikukuh ini cenderung memakai oposisi biner, seperti gunung-lembah dan
panjang-pendek. Ciri lainnya cenderung memunculkan kata “teu meunang” (tidak
boleh). William R. Bascom (Danandjaja, 1994:19), mengemukakan fungsi folklor,
terutama folklor lisan, adalah (1) sebagai sitem proyeksi, yakni
sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif, (2) sebagai alat pengesahan
pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, (3) sebagai alat pendidikan
anak, dan (4) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat
akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.
Dalam konteks ini, kutipan di atas sangat relevan
terhadap keadaan di komunitas Baduy, terutama pada poin 4. Pukukuh yang muncul
di tempat ini tidak hanya terkonstruksi secara lisan tetapi menjadi semacam
undang-undang (way of life) di dalam setiap kehidupan mereka, sehingga kata
“teu meunang” cenderung muncul di dalam pikukuh (larangan) tersebut. Konsep
“larangan” sebetulnya tidak hanya terjadi di komunitas Baduy. Salah satu motifeme (baca:
rangka-rangka) yang didapat oleh Alan Dundles setelah selesai
meneliti dongeng Indian-Amerika adalah interdiction (larangan)
(Danandjaya, 1994:96).
Kalimat pertama gunung teu meunang dilebur ada kaitannya secara langsung dengan
kalimat kedua lebak teu meunang
diruksak. Teu mengungkapkan bahwa interpretasi keseluruhan tidak
dapat dimulai tanpa pemahaman bagian-bagiannya, tetapi interpretasi bagian
mengandaikan lebih dahulu pemahaman bagian-bagiannya (1984: 123). Dengan
demikian, dalam proses pemahaman terhadap karya sastra, sejumlah konvensi yang
melingkupinya (konvensi bahasa, sastra, dan budaya) harus benar-benar
diperhatikan.
Kedekatan Baduy dengan alam seperti gunung dan lebak
(lembah) menjadikan komunitas mereka harus menjaga dua wilayah tersebut kendati
terdengar kontras. Gunung dan lembah tidak boleh dihancurkan karena jika itu
terjadi maka musnahlah segara kehidupan mereka. Dari letak geografis, Baduy
berada di dua wilayah itu. Dengan demikian mereka harus memeliharanya sebagai
bagian dari keseimbangan kehidupan. Maka dari itu masyarakat baduy tidak pernah
melakukan peleburan gunung seperti menjual sumber daya alam yang ada digunung
seperti batu, tanah atau pun minyak bumi. Konsep oposisi biner, secara
intertekstual mengindikasikan perbedaan, namun di dalam konsep hidup justru
memperlihatkan keseimbangan karena konsep kosmos ini terbentuk dan dibentuk
dari proses keseimbangan. Di dalam konsep Cina kita mengenal yin dan yang. Secara
alamiah, kita juga menemukan konsep perbedaan untuk menjaga keseimbangan itu di
dalam tatanan realitas seperti laki-laki dan perempuan, hitam dan putih, kaya
dan miskin, begitu seterusnya. Konsep pikukuh Baduy menegaskan bahwa di dalam
perbedaan itu tetap harus dijaga, dipelihara dan tidak dirusak/ diubah.
Sekaitan dengan itu, dua kalimat selanjutnya juga
memiliki konsep yang seirama yaitu lojor
teu meunang dipotong, pendek teu meunang disambung. (panjang tidak
boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung). Masyarakat Baduy sangat percaya
bahwa segala sesuatu di alam ini telah diciptakan oleh Sang Maha Pencipta. Oleh
karenanya, sebagai manusia yang juga diciptakan, manusia tidak memiliki
kepatutan untuk merusak seperti memotong atau menyambung. Contohnya dari
bangunan rumah yang mereka buat rumah seperti kaki pada rumah mereka tidak sama
rata panjang pendeknya karena mereka membuat rumah mengikuti bentuk permukaan
tanah mereka tidak diperbolehkan mencangkul tanah untuk diratakan agar pembuatan
rmah menjadi seimbang, untuk menyamaratakan bangunan rumah mereka mereka
membuat sanggahan rumanya atau kaki rumahnya membedakan ada yang kakinya
panjang da nada yang pendek tergantung pada bentuk permukaan tanahnya. Konsep
hidup yang diserahkan pada gagasan natural ini jelas memperkuat masyarakat
Baduy secara umum bahwa mereka dilahirkan untuk menjaga stabilitas alam agar
tetap seimbang.
Keseimbangan hidup yang ditonjolkan oleh masyarakat
Baduy sangat terlihat dari konsep hidup yang sederhana dan tidak diperbolehkan
untuk menimbun kekayaan yang diluar batas kewajaran. Mereka bersepakat untuk
menjadikan alam sebagai sahabat. Ketergantungan manusia tehadap alam dijelaskan
di dalam pikukuh Baduy secara nampak dan jelas, dengan demikian sudah
sewajarnya jika proses “menjaga” menjadi hal yang tak bisa dinafikkan. Kealamiahan
yang menjadi titik tekan dalam kehidupan bermasyarakat di komunitas Baduy bisa
terlihat dari realitas sehari-hari. Mereka tidak diperkenankan untuk memakai zat-zat
kimiawi seperti sabun, deodorant dan alat-alat kecantikan. Kemudian, dari
pembuatan rumah misalnya (terutama di baduy dalam) mereka tidak memakai paku
untuk menyangga kayu. Kesederhanaan hidup ini adalah cara mereka untuk
“bersatu” dengan alam. Pikukuh yang menjadi pegangan hidup mereka dianggap
sebagai harga mati dan tak boleh diubah. Dari tulisan ini, seyogianya kita bisa
bercermin terhadap masyarakat Baduy yang begitu menjaga keseimbangan alam.
Proses hidup “kembali ke alam” sangat penting untuk terapkan, minimal kita
mengurangi hal-hal yang bisa merusak alam untuk kehidupan bersama.
Filosofi
itulah hingga kini tetap menjadi pedoman bagi masyarakat Baduy dipedalaman
Lebak yang menjadi tuturan dalam kehidupannya yang sampai kini masih diyakini
dan dipercayai contohnya dari perayaan seba baduy, tradisi upacara Seba sebagai
wujud ungkapan syukur kepada Bapak Gede (Bupati atau kepala pemerintahan
daerah). Perayaan adat Seba, menurut warga Baduy, merupakan peninggalan leluhur
tetua (Kokolotan) yang harus dilaksanakan sekali dalam setiap tahun. Dalam acara ini tergambar hirup pikkuk
masyarakat baduy yang hidup rukun dan kekeluargaan.
Acara
seba digelar setelah musim panen ladang huma. Huma adalah ladang tempat menanam
padi masyarakat baduy dengan menanam padi diladang atau ditanah yang disebut
“ngaseuk”. Bahkan tradisi sudah berlangsung ratusan tahun sejak zaman
Kesultanan Banten di Kabupaten Serang. Seba itu sendiri adalah suatu
penyerahan upeti kepada walikota sebagai bentuk hasil tani yang melimpah ruah
yang dihasilkan dari hasil bertani masyarakat baduy. Dan tidak ada paksaan dari
pihak manapun. Yang di Pemimin oleh kepala desa yang disebut "jaro"
dan kepala adat disebut "pu'un" bersamaan berbondong-bondong
bersama-sama membawa hasil tani tersebut pada pemerintahan yang diserahkan kepada
Bupati Lebak secara langsung di pendopo Kabupaten Lebak.
Sebelum melakukan seba masyarakat baduy
biasanya melakukan puasa atau disebut “kawalu” disaat kawalu yang dilakukan
dalam tiga bulan berturut-turut ini orang yang bukan masyarakat baduy, tamu
yang berkunjun dilarang memasuki kawasan baduy dalam dan hanya bisa memasuki
kawasan baduy luar saja. “Kawalu” yaitu bulannya adalah dimana masyarakat baduy
yang diwajibkan berpuasa.
Saat Kawalu, semua kegiatan yang
dilakukan difokuskan kepada prosesi Kawalu. Mereka tidak diperbolehkan
membetulkan rumah atau selamatan-selamatan seperti merayakan pernikahan dan
lain sebagainya, pada saat kwalu masyarakat baduy mempersiapkan untuk
memperingati hari besar bagi masyarakat Baduy yang disebut Seba,
Kawalu adalah satu-satunya kegiatan
utama. Sebagai persiapan yang mereka lakukan adalah mengumpulkan hasil panen
dari ladang-ladang mereka seperti padi, pisang, kelapa, gula aren, serta madu
dari pedalaman cibeo. Padi sebelum dibawa untuk persiapan seba, padi tersebut
ditumbuk terlebih dahulu menggunakan halu tempat menumbung padi dibawah lumbung
padi yang dilakukan oleh perempuan baduy dengan menggunakan sarung yang disebut
“samping jangkung” yang dibentuk kemben, dan dimulai dari jam tiga subuh sampai
petang secara bergantian. Sesudah padi tersebut ditumbuk dan menjadi beras separuh
dari padi tersebut dibuat tepung dan dibentuk menyerupai bayi atau disebut
orok-orokan yang dibawa ke hutan untuk di jadikan sesajen yang disebut ngalaksa
sebelum melakuakan upacara seba.
Dari pribahasa baduy tersebut kita dapat
mengambil makna kehidupan bahwa hiduplah apa adanya jangan menjadi perusak dan
jangan serakah, karena keserahakan akan menjerumuskan kita pada kerusakan dan
kehancuran.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. .
seba. Diperoleh dari https://sites.google.
YaksaVena, Firman.
2011.Pikukuh adat baduy dalam menjaga.
Diperoleh dari http://www.firmanvenayaksa.com
Komentar
Posting Komentar