Filosofi Rumah Baduy
Filosofi Rumah Baduy
Suku Baduy
di Banten menjadi salah satu harta yang dimiliki bangsa Indonesia. Orang Baduy tinggal dan bermukim secara turun temurun
di wilayah kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota
Rangkasbitung.
Pasalnya hingga kini orang Baduy terus
melestarikan cara hidup nenek moyang mereka. Dalam setiap keseharian, orang
Baduy beraktivitas secara tradisonal termasuk bentuk tempat tinggal mereka
berupa Rumah Adat Baduy. Rumah tradisonal masyarakat Baduy sangat
mempertahankan gaya arsitektur tradisonal, bentuknya sederhana tapi menarik,
dengan letak tertata rapih yang menghadap ke arah Utara. Arah ini mencerminkan
budaya masyarakat Baduy yang peduli terhadap sekitar alam dan lingkungan.
Rumah
masyarakat Baduy merupakan rumah panggung dengan bahan bangunan terbuat dari
bambu. Bentuk rumah disana disebut sulah nyanda. Namun umumnya
orang Sunda didaerah Priangan menyebutnya julang ngapak. Atapnya terdiri dari
dua bagian kiri dan kanan. Atap sebelah kirinya biasanya panjang dari atap
sebelah kanan. Tujuannya selain untuk mendapatkan kehangatan karena sisi atap
menjadi lebih rendah, juga untuk menambah ruangan, lantaran jumlah anggota
keluarga dalam rumah itu bertambah. mengatur air agar
tidak masuk kedalam rumah. Pembuatan cabik ini pun, berkaitan dengan
kepercayaan mengenai lambang lingkaran hidup.
Rumah-rumah masyarakat Baduy, tidak ada yang
menggunakan genteng karena semua rumah beratapkan ijuk atau daun rumbia. Rumah
yang beratapkan genteng mereka dianggap menyalahi kepercayaan nenek moyang.
Alasannya sederhana saja. Genting itu terbuat dari tanah. Menggunakan atap genteng berarti mengubur
diri hidup-hidup padahal, orang yang harus dikubur itu mereka yang sudah mati,
ini menentang kodrat. Sebab rumah sebagai perantara dunia bawah (tanah) dan
dunia atas (langit), tidak boleh diletakan di bawah tanah.
Masyarakat Baduy membangun rumah mereka dengan bergotong royong dan
saling membantu, Rumah adat baduy ini sendiri terkenal dengan kesederhanaan,
dan dibangun berdasarkan naluri manusia yang ingin mendapatkan perlindungan dan
kenyamanan.
Filosofi
rumah adat Baduy yang di yakini sebagai kepercayaan nenek moyang mereka. Itu
sebabnya membangun rumah tidak boleh sembarangan. Kawasan Baduy seperti daerah
Kenekes, diyakini sebagai pusat alam semesta. Karena itu, tanah di sana pantang
di olah dengan cangkul. Malah, jika tanah yang digunakan untuk membangun rumah
tidak rata, mereka tidak mau meratakannya. Rumah tetap didirikan disitu.
Caranya tiang-tiang rumah disesuiakan dengan kondosi tanah. Hasilna tentu
tiang- tiang yang tidak sama tinggi.
Rumah
panggung merupakan ciri khas masyarakat Baduy. Ini erat kaitannya dengan
kepercayaan, rumah itu memiliki kekuatan netral. Terletak antara dunia bawah
dan dunia atas. Rumah yang di bangun tidak boleh langsung menyentuh tanah.
Tiang- tiang kolong rumah harus di beri alas batu atau umpak.
Organisasi rumah masyarakat Baduy terdiri dari bagian
depan, tengah dan belakang (dapur). Bagian depan disebut sosoro, digunakan
untuk menerima tamu. Bagian tengah untuk tempat tidur sedangkan bagian belakang
untuk memasak.
Para tamu yang tak dikenal hanya boleh memasuki bagian
depan. Dilarang keras untuk memasuki kebagian tengah. Sebab mereka punya
kepercayaan, setiap orang luar yang datang kerumah membawa pengaruh buruk, itu
sebabnya bagian tangah disebut bagian netral, karena bagian buruk disaring
dibagian depan.
Bagian rumah itu didasarkan kepada kepercayaan, rumah
identik dengan bumi ( alam semesta). Yang terdiri dari 3 bagian atas, tengah,
bawah. Dapur pada rumah masyarakat Baduy
berlantaikan bambu. Untuk membuat tungku, biasanya bagian lantai dapur itu
ditimbunin tanah besekat kayu. Diatas tanah itu dibuat tungku. Cara ini
dimaksutkan agar api tidak menjilat lantai bambu tersebut. Pada dapur ini, ada
sebuah tempat yang disebut goa. Fungsinya untuk menyimpan padi atau beras.
Rumah suku baduy yaitu rumah yang memiliki filosofi
atau makna yang berhubungan dengan kepercayaan dan keyakinan nenek moyang yang
diyakini dan dilestarikan secara turun temurun yang hingga kini masih di
percayai dan gunakan masyarakat baduy dalam maupun baduy luar.
Referensi:
Komentar
Posting Komentar