Filsafat Hukum
Filsafat Hukum
Filsafat hukum adalah cabang filsafat yang membicarakan apa hakikat hukum
itu, apa tujuannya, mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk kepada
hukum. Disamping menjawab pertanyaan masalah-masalah umum abstrak tersebut,
filsafat hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai hubungan antara hukum
dan moral (etika) dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga hukum. Hukum
ditinjau dari segi sebagai berikut:
Segi semantik: perkataan filsafat berasal dari
bahasa Arab ‘falsafah’, yang berasal
dari bahasa Yunani, ‘philosophia’,
yang berarti ‘philos’ cinta, suka (loving), dan ‘sophia’ pengetahuan, hikmah(wisdom). Jadi ’philosophia’ berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta
kepadakebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat akan menjadi
bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut ‘philosopher’, dalam bahasa Arabnya ‘failasuf”. Pecinta pengetahuan ialah orang yang menjadikan
pengetahuan sebagai tujuanhidupnya, atau perkataan lain, mengabdikan dirinya
kepada pengetahuan.
Segi praktis : dilihat dari pengertian
praktisnya, filsafat bererti ‘alam pikiran’ atau ‘alam berpikir’. Berfilsafat
artinya berpikir. Namun tidak semua berpikir bererti berfilsafat. Berfilsafat
adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sebuah semboyan mengatakan
bahwa “setiap manusia adalah filsuf”. Semboyan ini benar juga, sebab semua
manusia berpikir. Akan tetapi secara umum semboyan itu tidak benar, sebab tidak
semua manusia yang berpikir adalah filsuf.
Filsafat hukum menurut para ahli
berikut definisinya:
Menurut Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto (1979 : 11). Filsafat hukum itu sebagai
perenungan dan perumusan nilai-nilai; kecuali itu, filsafat hukum juga mencakup
penyerasian nilai-nilai, misalnya penyeresaian antara ketertiban dan
ketentraman, antara kebendaan dengan keakhlakan, dan antara kelanggengan atau
konservatisme dengan pembaharuan.
Menurut
Satjipto Rahardjo (1982 : 321) mengemukakan pendapatnya bahwa filsafat hukum
itu mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum.
Pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat hukum, tentang dasar-dasar bagi kekuatan
mengikat dari hukum, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang mendasar itu.
Menurut
Gustav Rdbruch (1952) merumuskannya dengan sederhana, yaitu bahwa filsafat hukum
itu adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum yang benar,
Menurut
Van Apaldoorn (1975) menguraikan sebagai berikut: “Filsafat hukum menghendaki
jawaban atas pertanyaan: apakah hukum? Ia menghendaki agar kita berpikir
masak-masak tentang tanggapan kita dan bertanya pada diri sendiri, apa yang
sebenarnya kita tanggap tentang “hukum”. Tak dapatkah ilmu pengetahuan hukum
menjawabnya? Dapat, hanya, tak dapat memberikan jawaban yang serba memuaskan
karena tak lain daripada jawaban yang sepihak, karena ilmu pengetahuan hukum
hanya melihat gejala-gejala hukum belaka. Ia tak melihat “hukum”; hanya ia
melihat apa yang dapat dilihat dengan panca indera, bukan melihat dunia hukum
yang tak dapat dilihat, yang tersembunyi didalamnya; ia semata-mata melihat
hukum sebagai dan sepanjang ia menjelma dalam perbuatan-perbuatan manusia,
dalam kebiasaan-kebiasaan hukum. Kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai
terletak di luar pandangannya.
Menurut
E. Utrecht (1966). Ia mengetengahkan sebagai berikut: ‘Filsafat hukum memberi
jawaban atas pertanyaan seperti: Apakah hukum itu sebenarnya? (persoalan: adanya
tujuan hukum) Apakah sebabnya maka kita menaati hukum? (persoalan: berlakunya
hukum) Apakah keadilan menjadi ukuran untuk baik buruknya hukum itu?
(persoalan: keadilan) Inilah pertanyaan yang sebetulnya juga dijawab ilmu
hukum. Akan tetapi, bagi orang banyak jawaban ilmu hukum tidak memuaskan. Ilmu
hukum sebagi suatu empiris hanya melihat hukum sebagai suatu gejala saja, yaitu
menerima hukum sebagai suatu gegebenheit belaka.
Menurut
Kusumadi Pudjosewojo (1961), yang mengajukan beberapa pertanyaan penting yang
harus diselidiki oleh filsafat hukum. Pertanyaan yang dikemukakan , karena
sifatnya yang sangat mendasar, tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan hukum.
Pertanyaan yang dikemukakan adalah: “Dan seekali mempersoalkan hal-hal dari
ilmu hukum, dekatlah orang kepada pertanyaan seperti: Apakah tujuan dari hukum
itu? Apakah semua syarat keadilan? Apakah keadilan itu? Bagaimanakah
hubungannya antara hukum dan keadilan?. Dengan pertanyaan demikian, orang sudah
melewati batas-batas ilmu pengetahuan hukum sebagaimana arti lazimnya, dan
menginjak lapangan “filsafat hukum” sebagian ilmu pengetahuan filsafat.
Menurut
L. Bender O.P. (1948) sebagai berikut: “Filsafat hukum adalah suatu ilmu yang
merupakan bagian dari filsafat. Filsafat itu terdiri dari barbagai bagian. Salah
satu bagian utamanya adalah filsafat moral, yang disebut etika. Objek dari
bagian utama ini ialah tingkah laku manusoa, yaitu baik atau buruk menurut
kesusilaan. Menurut keyakinan saya, filsafat hukum adalah bagian dari filsafat
moral atau etika
Agar hukum yang dibangun dan
dibentuk memiliki landasan yang kokoh untuk jangka panjang dan tidak akan
dipertentangkan dengan pemahaman filsafat barat dan timur, pengetahuan tentang
filsafat hukum barat yang masih mendominasi pengetahuan filsafat hukum
Indonesia seharusnya diselaraskan dengan filsafat Pancasila sebagai Dasar
Negara RI.
Kajian tentang filsafat hukum
merupakan studi yang sifatnya mendasar dan komprehensif dalam ilmu hukum. Hal
ini karena filsafat hukum merupakan landasan bagi hukum positif yang berlaku di
suatu negara, demikian halnya dalam pengaturan HAM. Landasan filsafat negara
sangat menentukan bagaimana pola pengaturan HAM di negara yang bersangkutan,
apakah negara itu berpaham liberalis, sosialis maupun Pancasialis. Pancasila
sebagai philosophische gronslag bangsa
Indonesia merupakan dasar dari filsafat hukum Pancasila yang selanjutnya
menjadi dasar dari hukum dan praktek hukum di Indonesia. perenungan dan
perumusan nilai-nilai filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai,
misalnya penyerasian antara ketertiban dengan ketentraman, antara kebendaan
dengan keakhlakan, dan antara kelanggengan dengan konservatisme dengan
pembaharuan (purnadi purbacaraka&soerjono soekanto 1979:11).
Tak lepas dari fungsi filsafat itu
sendiri yaitu menumbuhkan kekreatifan, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan
arah dan menuntun pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan
kepada kita untuk menompang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang
menjadikan penggolongan-penggolongan berdasarkan ‘nation’, ras, dan keyakinan keagamaan mengabdi kepada cita mulia
kemanusiaan, tanpa mengindahkan norma/nilai-nilai yang berlaku dan melekat
dimasyarakat itu sendiri.
Referensi:
Komentar
Posting Komentar