Filosofi Monument Nasional
Filosofi Monument Nasional
(Monas)
Monumen Nasional atau yang sering disebut Monas adalah
icon kota Jakarta. Bukan hanya sebuah icon saja melainkan monas juga melambangkan semangat peruangan masyarakat Indonesia. Dalam sejarah mengatakan,
Ide dan gagasan awal pembangunan Monas muncul setelah 9 tahun kemerdekaan
diproklamirkan. Soekarno ingin Jakarta memiliki sebuah Tugu yang mewakili
kepribadian dan karakter Bangsa Indonesia, sebagai lambang kekuatan rakyat. Setelah
beberapa hari HUT ke-9 RI, dibentuk Panitia Tugu Nasional yang bertugas
mengusahakan berdirinya Tugu Monas. Panitia ini dipimpin Sarwoko Martokusumo, S
Suhud selaku penulis, Sumali Prawirosudirdjo selaku bendahara dan dibantu oleh
empat orang anggota masing-masing Supeno, K K Wiloto, E F Wenas, dan Sudiro.
Panitia itu bertugas menyiapkan segala
sesuatu yang berhubungan dengan pembangunan Monas, mencari biaya dari swadaya
masyarakat. Setelah itu, Sukarno membentuk panitia pembangunan Monas yang
dinamakan ‘Tim Yuri’ yang diketuai langsung olehnya. Tugu
itu, haruslah memiliki syarat yakni bentuk tugu yang dibangun benar-benar bisa
menunjukan kepribadian bangsa Indonesia, bertiga dimensi, tidak rata, tugu yang
menjulang tinggi ke langit, dibuat dari beton dan besi serta batu pualam yang
tahan gempa, tahan kritikan zaman sedikitnya seribu tahun serta dapat
menghasilkan karya budaya yang menimbulkan semangat kepahlawanan. “(Bangunan)
yang mencerminkan hal yang bergerak, yang dinamis dalam satu bentuk daripada
materi yang mati,” kata Sukarno waktu itu, seperti dikutip dalam buku Bung
Karno Sang Arsitek karya Yuke Ardhiati.
Bentuk tugu tinggi menjulang mengandung
falsafah lingga dan yoni yang menyerupai alu sebagai lingga dan bentuk wadah
cawan berupa ruangan menyerupai lumpang sebagai yoni. Lingga dan Yoni adalah
simbol dari jaman dahulu yang menggambarkan kehidupan abadi, lingga merupakan
unsur positif dan yoni adalah unsur negatif. Badan tugu menjulang tinggi dengan
lidah api dipuncaknya melambangkan semangat yang berkobar dan tak kunjung padam
dalam dada bangsa Indonesia.
Emas di puncak monas memiliki berat
total 38 kilogram, namun 28 kilogramnya konon adalah pemberian saudagar kaya
asal Aceh bernama Tengku Markam. Tengku Markam memberikan itu karena memiliki kedekatan
dengan presiden Soekarno. Emas di puncak monas merupakan emas hasil tambang
dari Desa Lebong, Bengkulu. Pada masa penjajahan Belanda Lebong ini merupakan
lokasi yang dipenuhi emas. Desa ini merupakan penyumbang besar ekspor emas
perak hindia belanda dengan produksi ratusan ton emas dan perak selama
1896-1941. Dikutip dari http://hidden-secret.com
Di puncak Monas terdapat cawan
yang menopang nyala lampu perunggu yang beratnya mencapai 14,5 ton dan dilapisi
emas 35 kilogram. Lidah api atau obor ini berukuran tinggi 14 meter dan
berdiameter 6 meter terdiri dari 77 bagian yang disatukan. Awalnya
nyala api perunggu ini dilapisi lembaran emas seberat 35 kilogram, tetapi untuk
menyambut kemerdekaan Republik Indonesia yang pada saat itu berusia setengah
abad (50 tahun) pada tahun 1995, lembaran emas ini dilapisi ulang sehingga
mencapai berat 50 kilogram lembaran emas.
Puncak tugu berupa Lidah api "Api Nan
Tak Kunjung Padam" yang maknanya bangsa Indonesia senantiasa memiliki
semangat yang menyala-nyala dalam berjuang dan tidak pernah surut atau padam
sepanjang masa.
Namun puncak Monas itu bukan
sekedar berbentuk lidah api biasa. Konon lidah api di puncak Monas itu
menggambarkan sesosok perempuan yang sedang duduk bersimpuh dengan gerai rambut
yang panjang. Rambut atasnya disimpul seperti sanggul kecil. Duduk langsung
menghadap Istana Negara. Tetapi, sosok
wanita di lidah api Monas tersebut hanya bisa dilihat dari sisi sebelah kiri
Monas atau dari Jalan Medan Merdeka Barat sebelah utara, dekat Istana Presiden.
Patung sesosok perempuan itu sengaja dibuat dengan sebaik-baiknya agar orang
yang melihatnya tidak mengetahuinya secara langsung. Dikutip dari https://www.vebma.com/unik/Monas/2112
Banyak orang yang menganggap
sosok wanita dalam lidah api Monas adalah salah satu ide dari Presiden
Soekarno. Sosok wanita dalam lidah api Monas itu sering dipandangi Soekarno
dari Istana Merdeka. Namun itu masih menjadi cerita yang masih belum diketahui kebenaranya.
Komentar
Posting Komentar