LOGIKA TAUHID
LOGIKA
TAUHID
Alkisah, nabi
Adam tinggal di surga bersama istrinya, Hawa. Namun, karena tergoda bisikan
setan, maka Nabi Adam beserta istrinya “terusir” dari surga dan menjalani
kehidupan di dunia. tugas manusia di dunia adalah menyadari kedudukannya sebagai
khalifah Allah, memimpin umat sesuai syariat Allah, dan mengelola sumberdaya
alam untuk kesejahteraan semua.
Dalam kedudukannya yang sedemikian terhormat, manusia
harus “melihat ke atas” hanya kepada Allah. Menyembah hanya kepada Allah, taat
dan patuh kepada syariat Allah yang tertulis- Al-Kitab. Kemudian kepada
sesamanya harus melihat dalam garis mendatar yang setara, tidak boleh sombong
atau rendah diri, tidak boleh
menindas
atau bersedia ditindas. Tidak boleh mempertuhankan diri sendiri atau orang
lain. Dan kepada alam semesta, manusia harus melihat ke bawah. Manusia tidak
seharusnya menatafsirkan
gejala alam secara magis-mitologis yang pada akhirnya mengantarkan manusia
dalam lembah kemusyrikan.
Inilah logika syirik sebagai dosa terbesar dalam ajaran
Islam. Dosa yang tak terampuni. Syirik adalah tindakan manusia mengingkari
ketinggian harkat dan martabatnya sebagai khalifah Allah di bumi. Oleh karena
itu, kemusyrikan dengan sendirinya adalah kekafiran yang nyata. Orang kafir
dihantui oleh rasa takut, takut terhadap dirinya sendiri, terhadap lelembut,
dedemit, roh jahat, dan lain-lain yang tidak berdasar. Mereka takut terhadap
kutukan roh leluhur. Mereka selalu resah dan gelisah karena tidak bertakwa
kepada Allah.
Orang-orang kafir dengan kepercayaan yang sesat melakukan
tindakan yang melanggar asas kemanusiaan. Misalnya, orang Musyrik Quraisy yang
mengorbankan (membunuh) anak perempuan sebagai tumbal untuk Tuhan! Praktik
ibadah yang tidak logis! Mereka serahkan anak perempuan untuk Tuhan dan anak
laki-laki untuk dirinya! Kaum kafir dikalangan Ahl kitab memanipulasi ajaran
Allah yang diturunkan kepada Nabi Musa dan Nabi ‘Isa. Mereka merusak tauhid
dengan mengarang cerita soal anak Tuhan dan trinitas. Mereka mengharamkan apa
yang dihalalkan oleh Allah, seperti dalam paham salibat dan vegetarianisme. Dalam hal ini Allah pun
bertanya kepada orang-orang kafir, apakah
kamu mempunyai bukti yang nyata? (QS.
Ash-Shoffat [37]:156). Kepercayaan dan ritual ibadah orang-orang kafir, baik
Ahli kitab maupun Kaum Musyrik tidak berdasar bukti dalam arti hujjah
kitabiyah- Taurat dan Injil yang telah diterima Ahli Kitab- maupun hujjah
logika bagi kaum yang tidak memperoleh kitab.
Peran
kekhalifahan manusia mengelola bumi demi kemakmuran umat manusia hanya bisa
dilakukan oleh orang yang beriman. Iman yang benar dapat mengantarkan manusia
pada paradigma pembangunan yang benar, yakni mengelola sumberdaya alam sesuai
hukum keseimbangan yang tetapkan Allah Ta’ala, tidak mengeramatkan alam, tetapi
juga tidak merusaknya. Sebaliknya, orang musyrik yang mengeramatkan alam telah
gagal memahami hukum-hukum Allah yang berlaku pada alam sebagaimana terlihat
pada gejala alam tersebut. Pikiran mereka terbelenggu oleh tradisi leluhur,
sehingga mereka tidak mampu berpikir kritis, logis, dan koheran. Dalam posisi
ini, harkat dan martabat manusia melorot lebih rendah dari binatang.
Dalam Islam,
berdasarkan ayat 4/65 dan 33/36, orang dituntut untuk mematuhi hukum yang
diturunkan ALLAH tanpa bantahan. Hal ini dapat dipahami bahwa antara manusia
itu banyak sekali yang kurang ilmu dan pengertian tentang sesuatu. Jika dia
dibolehkan berbuat sesuatu atas kekurangan ilmu dan pengertian demikian,
tentulah akan timbul kesesatan, kontradiksi dan kekalutan, karenanya ALLAH
memerintahkan agar orang mematuhi hukum-NYA untuk kebenaran, keselamatan, dan
kemakmuran hidup, didasarkan atas ketepatan hukum itu sendiri di sepanjang
zaman.
Tetapi kepatuhan
demikian tidak dimiliki setiap orang, dan sesuatu itu diperlakukan atas
kekurangan ilmu yang dimilikinya, maka berlakulah kemurtadan dalam imannya, dia
mulai meninggalkan hukum agamanya, malah ada yang secara terang menukar
agamanya atau agama yang diwarisinya dari orang tua.
Berbeda dari keadaan
orang yang telah mendapat kepastian atau yakin, bukannya dia terpesona oleh
alam sekitarnya, bukan berubah pendirian disebabkan ajakan dan bujukan yang
merayu. Dia akan berpendirian teguh atas keyakinannya.
Referensi:
Tim
Dosen MPK.2015. Pendidikan Agama Islam. BANTEN UNTIRTA
Press
Komentar
Posting Komentar