Aliran-Aliran
dalam Etika
Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani
adalah “Ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya
berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin,
yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan
atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan),
dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk. Dalam etika terdapat
aliran-aliran sebagai berikut:
Etika deontologi memandang bahwa tindakan dinilai baik atau
buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Etika
deontologi tidak mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut, baik atau buruk.
Kebaikan adalah ketika seseorang melaksanakan apa yang sudah menjadi
kewajibannya.
Tokoh yang mengemukakan teori ini
adalah Immanuel Kant (1734-1804). Kant menolak akibat suatu tindakan
sebagai dasar untuk menilai tindakan tersebut karena akibat tadi
tidak menjamin universalitas dan konsistensi dalam bertindak dan menilai suatu
tindakan (Keraf, 2002: 9).
Kewajiban moral sebagai manifestasi dari hukum moral
adalah sesuatu yang sudah tertanam dalam setiap diri pribadi manusia yang
bersifat universal.Manusia dalam dirinya secara kategoris sudah dibekali
pemahaman tentang suatu tindakan itu baik atau buruk, dan keharusan untuk
melakukan kebaikan dan tidak melakukan keburukan harus dilakukan sebagai
perintah tanpa syarat (imperatif kategoris).
Kewajiban moral untuk tidak melakukan korupsi,
misalnya, merupakan tindakan tanpa syarat yang harus dilakukan oleh setiap
orang. Bukan karena hasil atau adanya tujuan-tujuan tertentu yang akan diraih,
namun karena secara moral setiap orang sudah memahami bahwa korupsi adalah
tindakan yang dinilai buruk oleh siapapun.
Etika deontologi menekankan bahwa kebijakan/tindakan harus didasari
oleh motivasi dan kemauan baik dari dalam diri, tanpa mengharapkan pamrih
apapun dari tindakan yang dilakukan (Kuswanjono, 2008: 7).
Ukuran kebaikan dalam etika deontologi adalah
kewajiban, kemauan baik, kerja keras dan otonomi bebas. Setiap tindakan
dikatakan baik apabila dilaksanakan karena didasari oleh kewajiban moral dan
demi kewajiban moral itu. Tindakan itu baik bila didasari oleh kemauan baik dan
kerja keras dan sungguh-sungguh untuk melakukan perbuatan itu, dan tindakan
yang baik adalah didasarkan atas otonomi bebasnya tanpa ada paksaan dari
luar.
Etika teleologi berkebalikan dengan etika deontologi,
yaitu bahwa baik buruk suatu tindakan dilihat berdasarkan tujuan atau
akibat dari perbuatan itu. Etika teleologi membantu kesulitan etika deontologi
ketika menjawab apabila dihadapkan pada situasi konkrit ketika dihadapkan pada
dua atau lebih kewajiban yang bertentangan satu dengan yang lain. Jawaban
yang diberikan oleh etika teleologi bersifat situasional yaitu memilih mana
yang membawa akibat baik meskipun harus melanggar kewajiban, nilai norma yang
lain.
Ketika bencana sedang terjadi situasi biasanya chaos.
Dalam keadaan seperti ini maka memenuhi kewajiban sering sulit dilakukan.
Contoh sederhana kewajiban mengenakan helm bagi pengendara motor tidak dapat
dipenuhi karena lebih fokus pada satu tujuan yaitu mencari keselamatan.
Kewajiban membayar pajak dan hutang juga sulit dipenuhi karena kehilangan
seluruh harta benda. Dalam keadaan demikian etika teleologi perlu
dipertimbangkan yaitu demi akibat baik, beberapa kewajiban mendapat toleransi
tidak dipenuhi. Etika teleologi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
egoisme etis dan utilitarianisme.
1. Egoisme etis memandang bahwa
tindakan yang baik adalah tindakan yang berakibat baik untuk pelakunya.
Secara moral setiap orang dibenarkan mengejar kebahagiaan untuk dirinya dan
dianggap salah atau buruk apabila membiarkan dirinya sengsara dan dirugikan.
2. Utilitarianisme menilai bahwa baik
buruknya suatu perbuatan tergantung bagaimana akibatnya terhadap banyak orang.
Tindakan dikatakan baik apabila mendatangkan kemanfaatan yang besar dan
memberikan kemanfaatan bagi sebanyak mungkin orang. Di dalam menentukan suatu
tindakan yang dilematis maka yang pertama adalah dilihat mana yang memiliki
tingkat kerugian paling kecil dan kedua dari kemanfaatan itu mana yang paling
menguntungkan bagi banyak orang, karena bisa jadi kemanfaatannya besar namun
hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil orang saja. Etika utilitarianisme ini
tidak terpaku pada nilai atau norma yang ada karena pandangan nilai dan norma
sangat mungkin memiliki keragaman. Namun setiap tindakan selalu dilihat
apakah akibat yang ditimbulkan akan memberikan manfaat bagi banyak orang atau
tidak.
Kalau tindakan itu hanya akan menguntungkan sebagian
kecil orang atau bahkan merugikan maka harus dicari alternatif-alternatif
tindakan yang lain. Etika utilitarianisme lebih bersifat realistis, terbuka
terhadap beragam alternatif tindakan dan berorientasi pada kemanfaatan yang
besar dan yang menguntungkan banyak orang. Utilitarians try to produce
maximum pleasure and minimum pain, counting their own pleasure and pain as no
more or less important than anyone else’s (Wenz, 2001: 86).
Etika utilitarianisme ini menjawab pertanyaan etika egoisme, bahwa
kemanfaatan banyak oranglah yang lebih diutamakan. Kemanfaatan diri
diperbolehkan sewajarnya, karena kemanfaatan itu harus dibagi kepada yang lain.
Utilitarianisme, meskipun demikian, juga memiliki kekurangan. Sonny Keraf
(2002: 19-21) mencatat ada enam kelemahan etika ini, yaitu:
(1) Karena alasan kemanfaatan untuk orang
banyak berarti akan ada sebagian masyarakat yang dirugikan, dan itu dibenarkan.
Dengan demikian utilitarianisme membenarkan adanya ketidakadilan terutama
terhadap minoritas.
(2) Dalam kenyataan praktis, masyarakat lebih
melihat kemanfaatan itu dari sisi yang kuantitasmaterialistis, kurang
memperhitungkan manfaat yang non-material seperti kasih sayang, nama baik, hak
dan lain-lain.
(3) Karena kemanfaatan yang banyak diharapkan
dari segi material yang tentu terkait dengan masalah ekonomi, maka untuk atas
nama ekonomi tersebut hal-hal yang ideal seperti nasionalisme, martabat bangsa
akan terabaikan, misalnya atas nama memasukkan investor asing maka aset-aset
negara dijual kepada pihak asing, atau atas nama meningkatkan devisa
negara maka pengiriman TKW ditingkatkan. Hal yang menimbulkan problem
besar adalah ketika lingkungan dirusak atas nama untuk menyejahterakan
masyarakat.
(4) Kemanfaatan yang dipandang oleh etika
utilitarianisme sering dilihat dalam jangka pendek, tidak melihat akibat jangka
panjang. Padahal,misalnya dalam persoalan lingkungan, kebijakan yang
dilakukan sekarang akan memberikan dampak negatif pada masa yang akan datang.
(5) Karena etika utilitarianisme tidak
menganggap penting nilai dan norma, tapi lebih pada orientasi hasil, maka
tindakan yang melanggar nilai dan norma atas nama kemanfaatan yang besar,
misalnya perjudian/prostitusi, dapat dibenarkan.
(6) Etika utilitarianisme mengalami kesulitan
menentukan mana yang lebih diutamakan kemanfaatan yang besar namun dirasakan
oleh sedikit masyarakat atau kemanfaatan yang lebih banyak dirasakan banyak
orang meskipun kemanfaatannya kecil.
Menyadari kelemahan itu etika utilitarianisme
membedakannya dalam dua tingkatan, yaitu utilitarianisme aturan dan
tindakan. Atas dasar ini, maka :
1. Setiap kebijakan dan tindakan harus dicek
apakah bertentangan dengan nilai dan norma atau tidak. Kalau bertentangan maka
kebijakan dan tindakan tersebut harus ditolak meskipun memiliki kemanfaatan
yang besar.
2. Kemanfaatan harus dilihat tidak hanya yang
bersifat fisik saja tetapi juga yang non-fisik seperti kerusakan mental,
moralitas, kerusakan lingkungan dan sebagainya.
3. Terhadap masyarakat yang dirugikan perlu
pendekatan personal dan kompensasi yang memadai untuk memperkecil kerugian
material dan non-material.
Etika Keutamaan. ini tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak
juga mendasarkan pada penilaian moral pada kewajiban terhadap hukum moral
universal, tetapi pada pengembangan karakter moral pada diri setiap orang.
Orang tidak hanya melakukan tindakan yang baik, melainkan menjadi orang yang
baik. Karakter moral ini dibangun dengan cara meneladani perbuatan-perbuatan
baik yang dilakukan oleh para tokoh besar. Internalisasi ini dapat dibangun
melalui cerita, sejarah yang di dalamnya mengandung nilai-nilai keutamaan
agar dihayati dan ditiru oleh masyarakatnya. Kelemahan etika ini adalah
ketika terjadi dalam masyarakat yang majemuk, maka tokoh-tokoh yang dijadikan
panutan juga beragam sehingga konsep keutamaan menjadi sangat beragam pula, dan
keadaan ini dikhawatirkan akan menimbulkan benturan sosial.
Kelemahan etika keutamaan dapat diatasi dengan cara
mengarahkan keteladanan tidak pada figur tokoh, tetapi pada perbuatan baik yang
dilakukan oleh tokoh itu sendiri, sehingga akan ditemukan prinsip-prinsip umum
tentang karakter yang bermoral itu seperti apa.
Etika vitalisme. berpendirian bahwa yang menjadi baik buruknya
perbuatan manusia harus diukur ada tidaknya daya hidup mengendalikan
perbuatan itu ; yang dianggap baik menurut aliran ini ialah orang kuat yang
dapat memaksakan kehendaknya dan sanggup menjadikan dirinya selalu ditaati.
Dapat dikatakan bahwa aliran ini berusaha mengembangkan salah satu kekuatan
naluri dalam diri manusia yakni instinct berjuang. Tokoh utamanya ialah
Friedrich Neitzche.
Referensi:
Komentar
Posting Komentar