Pertanyaan Filsafat Imanuel Kant
Pertanyaan Filsafat Imanuel Kant
Disusun oleh:
Nama: Siti Mariyam
Nim: 2227150066
Kelas: 3 B (PGSD)
Filsafat menjadi landasan bagi
setiap perkembangan keilmuan. Jadi, tak heran apabila dijuluki sebagai The
Mother of Science. Apapun jenis ilmu yang kita pelajari, tak luput
dengan filsafat didalamnya. Karena, dengan adanya filsafat kita akan mampu untuk
membuka cakrawala atau ide-ide, serta menguak hakikatnya, hingga mengkaji nilai
dan gunanya.
Dalam dunia pendidikan, filsafat
sangatlah penting. Karena, kita akan mampu untuk berfikir lebih rasional.
Filsafat pendidikan itu sendiri dapat didefinisikan “ilmu pendidikan yang
bersendikan filsafat atau filsafat yang diterapkan dalam usaha pemikiran dan
pemecahan masalah pendidikan”. Dalam upaya pemecahan masalah pendidikan perlu
diketahui, bahwa terdapat beberapa pendekatan filsafat pendidikan. Yaitu,
filsafat pendidikan dapat didekati dari problem–problem pendidikan yang
bersifat filosofi yang memerlukan jawaban yang filosofi pula. Kedua, filsafat
pendidikan dapat pula didekati dari ide–ide filosofi yang diterapkan untuk
memecahkan masalah. Didalam filsafat muncul pertanyaan-pertanyaan seperti yang
ditanyakan Imanuel Kant.
Pemikiran Kritisisme Immanuel Kant
Filsafat yang dikenal dengan kritisisme adalah filsafat yang diintrodusir oleh
Immanuel kant. Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan
terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio. Perkembangan ilmu
Immanuel Kant mencoba untuk menjebatani pandangan Rasionalisme dan Empirisisme,
teori dalam aliran filsafat Kritisisme adalah sebuah teori pengetahuan yang
berusaha untuk mempersatukan kedua macam unsur dari filsafat Rasionalisme dan
disini kekuatan kritis filsafat sangatlah penting, karena ia bisa menghindari
kemungkinan ilmu pengetahuan menjadi sebuah dogma.
Filsafat ini memulai pelajarannya
dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan
manusia. Oleh karena itu, kritisisme sangat berbeda dengan corak filsafat
modern sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio secara mutlak. Isi utama
dari kritisisme adalah gagasan Immanuel Kant tentang teori pengetahuan,
etika dan estetika. Gagasan ini muncul karena adanya pertanyaan-pertanyaan
mendasar yang timbul pada pemikiran Immanuel Kant.
Pertama.
Pertanyaan apa yang dapat kita harapkan, yang jawabanya metafisika
atau harapan menurut Imanuel Kant adalah studi keberadaan atau
realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah
sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam
semesta? Cabang utama metafisika adalah ontology, studi mengenai kategorisasi
benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya.
Tokoh filsuf empirisme David Hume
menghancurkan segala kemungkinan munculnya kembali sistem metafisika yang
mengklaim kemampuan rasio (akal) manusia mencapai realitas sesungguhnya. Hume
hanya mau bersandar pada apa yang bisa diamati melalui inderawi. Kritik pedas
Hume pada metafisika membangunkan Kant dari tidur dogmatisnya menurut Kant
(1997). Dari Hume, Kant menyadari bahwa disiplin metafisika telah melalaikan
keterbatasan pengetahuan manusia dalam memahami realitas sesungguhnya.
Pemikiran Hume dan Kant meminjam
istilah posmodernisme, disebut narasi besar yakni ingin mempertanyakan kembali
wacana-wacana metafisik yang selalu bergulat. Gagasan metafisis tentang Tuhan,
esensi, substansi, hakiki, ruh sulit diterima karena bersifat apriori. Berbeda
dengan Hume yang menolak metafisika, Kant mempertanyakan metafisika untuk
merekonstruksi metafisika yang sudah ada. Ia membuang metafisika tradisional
yang diwariskan Aristoteles (filsuf Yunani) dan Thomas (filsuf skolastik)
dengan eviden sebagai dasarnya. Eviden yang dimaksud Kant adalah dualisme
kritisisme yang ekstrem yakni pengetahuan dan kenyataan yang terpisah oleh
jurang yang tidak dapat diseberangi.
Metafisika tradisional menganggap
Tuhan sebagai causa prima (penyebab pertama dari segala
sesuatu). Asumsi ini ditolak Kant. Menurutnya Tuhan bukanlah obyek pengalaman
dengan kategori kausalitas pada tingkat akal budi (verstand), melainkan ada
pada bidang atau pandangan yang melampaui akal budi, yakni bidang rasio (vernunft). Bagi Kant, pembuktian Tuhan
sebagai causa prima tidak bisa
diterima. Ada tidaknya Tuhan mustahil dibuktikan. Tuhan ditempatkan Kant
sebagai postulat bagi tindakan moral pada rasio praktis.
Langkah awal Kant dalam merekonstruksi
metafisika adalah mengungkapkan dua keputusan yakni sintetik dan analitik
seperti dimuat dalam Critique of Pure Reason (Kritik Rasio
Murni). Keputusan sintetik adalah keputusan dengan predikat tidak ada dalam
konsep subyek yang artinya menambahkan sesuatu yang baru pada subyek menurut
Adian (2000). Keputusan analitik adalah keputusan dengan predikat terkandung
dalam subyek. Misalnya proposisi semua tubuh berkeluasan. Predikat berkeluasan
sudah terkandung dalam semua tubuh menurut Adian (2000).
Menurut Kant, dalam metafisika
tidak terdapat pernyataan-pernyataan sintetik a prioris seperti
yang ada di dalam matematika, fisika dan ilmu-ilmu yang berdasar kepada fakta
empiris. Kant menamakan metafisika sebagai “ilusi transenden” (a transcendental illusion). Menurut
Kant, pernyataan-pernyataan metafisika tidak memiliki nilai epistemologis.
Harapan atau asa adalah
bentuk dasar dari kepercayaan akan sesuatu yang diinginkan akan didapatkan atau
suatu kejadian akan bebuah kebaikan di waktu yang akan datang. Pada umumnya harapan berbentuk
abstrak, tidak tampak, namun diyakini bahkan terkadang, dibatin dan dijadikan
sugesti agar terwujud. Namun
adakalanya harapan tertumpu pada seseorang atau sesuatu. Pada praktiknya banyak
orang mencoba menjadikan harapannya menjadi nyata dengan cara berdoa atau berusaha. Beberapa pendapat menyatakan bahwa
esensi harapan berbeda dengan "berpikir positif" yang merupakan salah
satu cara terapi/proses sistematis dalam psikologi untuk menangkal "pikiran negatif" atau
"berpikir pesimis.
Komponen-komponen
dalam harapan menurut Snyder (2000), komponen-komponen yang terkandung dalam
teori harapan yaitu:
a. Goal
Goal atau tujuan
adalah sasaran dari tahapan tindakan mental yang menghasilkan komponen kognitif.
Tujuan menyediakan titik akhir dari tahapan perilaku mental individu. Tujuan
harus cukup bernilai agar dapat mencapai pemikiran sadar. Tujuan dapat berupa
tujuan jangka pendek ataupun jangka panjang, namun tujuan harus cukup bernilai
untuk mengaktifkan pemikiran yang disadari. Tujuan dapat berupa approach-oriented in nature (misalnya
sesuatu yang positif yang diharapkan untuk terjadi) atau preventative in nature (misalnya
sesuatu yang negatif yang ingin dihentikan agar tidak terjadi lagi). Tujuan
juga sangat beragam dilihat dari tingkat kemungkinan untuk mencapainya. Bahkan
suatu tujuan yang tampaknya tidak mungkin untuk dicapai pada waktunya akan
dapat dicapai dengan perencanaan dan usaha yang lebih keras.
b.
Pathway
Thinking
Untuk dapat mencapai
tujuan maka individu harus memandang dirinya sebagai individu yang memiliki
kemampuan untuk mengembangkan suatu jalur untuk mencapai tujuan. Proses ini
yang dinamakan pathway thinking, yang menandakan kemampuan seseorang untuk
mengembangkan suatu jalur untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pathway thinking mencakup pemikiran
mengenai kemampuan untuk menghasilkan satu atau lebih cara yang berguna untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Beberapa jalur yang dihasilkan akan berguna
ketika individu menghadapi hambatan, dan orang yang memiliki harapan yang
tinggi merasa dirinya mampu menemukan beberapa jalur alternatif dan umumnya
mereka sangat efektif dalam menghasilkan jalur alternatif.
c.
Agency
Thinking
Komponen motivasional
pada teori harapan adalah agency, yaitu kapasitas untuk menggunakan suatu
jalur untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Agency mencerminkan persepsi individu bahwa dia mampu mencapai
tujuannya melalui jalur-jalur yang dipikirkannya, agency juga dapat mencerminkan penilaian individu mengenai
kemampuannya bertahan ketika menghadapi hambatan dalam mencapai tujuannya. Ketika
individu menghadapi hambatan, agency membantu individu menerapkan
motivasi pada jalur alternatif terbaik. Komponen agency dan pathway saling
memperkuat satu sama lain sehingga satu sama lain saling mempengaruhi dan
dipengaruhi secara berkelanjutan dalam proses pencapaian tujuan.
d. Kombinasi Pathway Thinking dan Agency Thinking
Komponen pathway thinking dan agency
thinking merupakan komponen yang saling melengkapi, bersifat timbal
balik, dan berkorelasi positif, tetapi bukan merupakan komponen yang sama. Individu
yang memiliki kemampuan dalam agency thinking seharusnya disertakan
juga dengan pathway thinking. Namun, beberapa individu tidak mengalami hal
tersebut.
Terdapat beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi harapan, yaitu:
a.
Dukungan Sosial
Harapan
memiliki kaitan erat dengan dukungan sosial, Individu mengekspresikan perasaan
tidak berdaya ketika mereka tidak mampu berkomunikasi dengan orang lain.
b.
Kepercayaan Religius
Kepercayaan
religius dan spiritual telah diidentifikasikan sebagai sumber utama harapan
dalam beberapa penelitian. Kepercayaan religius dijelaskan sebagai kepercayaan
dan keyakinan seseorang pada hal positif atau menyadarkan individu pada
kenyataan bahwa terdapat sesuatu atau tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya
untuk situasi individu saat ini. Spiritual merupakan konsep yang lebih luas dan
terfokus pada tujuan dan makna hidup serta keterkaitan dengan orang lain, alam,
ataupun dengan Tuhan. Kegiatan religius merupakan strategi kedua yang paling
umum untuk mempertahankan harapan dan juga sebagai sumber dalam mendukung
harapan pada pasien dengan penyakit kronis.
c.
Kontrol
Mempertahankan
kontrol merupakan salah satu bagian dari konsep harapan. Mempertahankan kontrol
dapat dilakukan dengan cara tetap mencari informasi, menentukan nasib sendiri,
dan kemandirian yang menimbulkan perasaan kuat pada harapan individu. Kemampuan
individu akan kontrol juga dipengaruhi self-efficacy yang dapat
meningkatkan persepsi individu terhadap kemampuannya akan kontrol.
Harapan
dapat dikorelasikan dengan keinginan dalam kontrol, kemampuan untuk menentukan,
menyiapkan diri untuk melakukan antisipasi terhadap stres, kepemimpinan, dan
menghindari ketergantungan. Didalam sebuah
harapan terdapat pertanyaan yang mungkin menyangkut apa yang menurutnya sulit
dalam membuktikan dalam mencapai harapan yang diinginnya, terkadang tersirat
didalam benak kita seperti pertanyaan apakah Tuhan ada? Seperti apakah bentuk Tuhan?.
Sama halnya dengan pertanyaan Imanuel Kant pertanyaan seperti itu terkadang
membuat seseorang menjadi ingin mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Istilah Al-qur’an Menyebut Tuhan:
Agama islam adalah agama yang mengenalkan tuhan
dengan kandungan isi Al-qur’an dan menyebutya dengan beberapa istilah atau yang
kita kenal dengan nama sering kita sebut dengan asmaul husna atau 99 nama
Allah, yang mana dalam setiap asmaul khusna terdapat makna dan arti yang
berbeda-beda.
Di dalam al-qur’an-pun terdapat ayat-ayat yang menceritakan
istilah yang menyebutkan Allah, diantaranya:
a. Surat
Al-Fatihah
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang.. Segala puji bagi Allah, Tuhan (rabbi) semesta
alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai di
hari Pembalasan.
Dalam surat Al-fatihah, tuhan disebut dengan arrahman dan
arrahim yang artinya adalah Maha pemurah dan penyayang, dalam hal ini arti kata
pemurah maksudnya adalah Allah bersifat welas asih sehingga melimpahkan
karunianya kepada seluruh hambanya. Sedangkan makna dari arrahim yang
memberikan pengertian bahwa Allah adalah selalu sayang atau penyayang dan
melimpahkan rahmatnya kepada semua makhluknya.
b. Al-Hadid ayat 1-3
Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih
kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan dialah yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana. Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, dia
menghidupkan dan mematikan, dan dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dialah yang
Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin dan dia Maha mengetahui segala
sesuatu.
Kedua. Apa yang boleh kita lakukan yang jawabannya etika, menurut Imanuel
Kant Etika diperlukan untuk mencari tahu
apa yang seharusnya dilakukan manusia. Secara metodologis, etika memerlukan
sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Sehingga etika
merupakan suatu ilmu dengan objeknya adalah tingkah laku manusia dengan sudut
pandang normatif. Pemikiran berhubungan dengan moralitas sebelum Kant dicari
dalam tatanan alam (Stoa, Spinoza), hukum kodrat (Thomas Aquinas), hasrat
mencapai kebahagiaan (filsafat pra Kant), pengalaman nikmat atau hedon
(Epikuros), perasaan moral (David Hume), kehendak Tuhan (Agustinus, Thomas
Aquinas).
Filsafat moral Kant menyatakan
kesadaran moral merupakan fakta yang tidak dapat dibantah meskipun bukan obyek
inderawi, namun membuka kenyataan bidang realitas adi inderawi. Sehingga
satu-satunya cara untuk klaim moralitas atas keabsahan universal melalui subyek
itu sendiri. Karya Kant tentang filsafat moral antara lain The Foundations of the Methaphysics of Morals (1785), Critique of Practical Reason (1788), dan
Metaphysics of Morals (1797). Dua
buku pertama meletakkan etika dasar etika. Metafisika moral menguraikan norma
dan keutamaan moral.
Kant mengembangkan prinsip etika
dari paham akal budi praktis. Kant mengandaikan baik bukan hanya dari beberapa
segi, tetapi baik secara mutlak. Menurut Kant, yang baik tanpa pembatasan sama
sekali adalah kehendak baik. Kehendak baik selalu baik dan dalam kebaikannya
tidak tergantung pada sesuatu di luarnya (otonom). Orang berkehendak baik
karena menguntungkan, tergerak oleh perasaan belas kasih, memenuhi kewajiban
demi kewajiban. Kehendak baik karena memenuhi kewajiban demi kewajiban disebut
Kant sebagai moralitas.
Pengukuran moralitas menurut Kant
bukan pada hasil. Karena perbuatan baik tidak membuktikan kehendak baik. Tetapi
pada kehendak pelaku apakah ditentukan oleh kenyataan bahwa perbuatan itu
kewajibannya. Kant selalu merasa bahwa perbedaan antara benar dan salah adalah
masalah akal, bukan perasaan (Gaarder, 1999). Teori moralitas Kant disebut
Imperatif Kategoris yang diciptakan dengan penekanan kepada otonomi individu
dalam mengambil keputusan moral. Imperatif kategoris merupakan suatu panduan
untuk menguji apakah suatu tindakan dapat disebut bermoral atau tidak.
Etika
(Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti hati
nurani ataupun perikelakuan yang pantas (atau yang diharapkan). Secara
sederhana hal itu kemudian diartikan sebagai ajaran tentang perikelakuan yang
didasarkan pada perbandingan mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang
dianggap buruk. Menurut para ahli, etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat
kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang
benar dan mana yang buruk. Perkataan etika atau lazim juga disebut etik,
berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti norma-norma, nilai-nilai,
kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik, seperti
yang dirumuskan oleh beberapa ahli berikut ini:
Drs. O.P. SIMORANGKIR : etika atau etik
sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.
Drs. Sidi Gajalba dalam
sistematika filsafat : etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia
dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
Drs. H. Burhanudin
Salam : etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan
norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya.
Etika
dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika memberi
manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan
sehari-hari. Itu berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan
bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu
untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu di lakukan dan yang
perlu di pahami bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek
atau sisi kehidupan.
Terdapat
macam-macam dalam Etika diantaranya sebagai berikut:
1. Etika
Deskriptif
Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan
perilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya
sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya Etika deskriptif tersebut berbicara
mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku manusia
sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya.
Dapat disimpulkan bahwa tentang kenyataan dalam penghayatan nilai atau tanpa
nilai dalam suatu masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tertentu memungkinkan
manusia dapat bertindak secara etis.
2. Etika Normatif
Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan
seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh
manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi Etika Normatif
merupakan norma-norma yang dapat menuntun agar manusia bertindak secara baik
dan menghindarkan hal-hal yang buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang
disepakati dan berlaku di masyarakat.
3. Etika
Teleologi
Suatu tindakan dikatakan
baik jika tujuannya baik dan membawa akibat yang baik dan berguna. Dari sudut
pandang “apa tujuannya”, etika teleologi dibedakan menjadi dua yaitu: pertama, Teleologi Hedonisme (hedone=
kenikmatan) yaitu tindakan yang bertujuan untuk mencari kenikmatan dan
kesenangan. Kedua Teleologi Eudamonisme (eudamonia=kebahagiaan) yaitu tindakan
yang bertujuan mencari kebahagiaan hakiki.
Etika Deontologi
Etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak
secara baik. Jadi, etika Deontologi yaitu tindakan dikatakan baik
bukan karena tindakan itu mendatangkan akibat baik, melainkan berdasarkan
tindakan itu baik untuk dirinya sendiri.
Ketiga. Pertanyaan sampai dimanakah pengharapan kita yang kawabannya
epistimologi atau pengetahuan, Kant
menyatakan bahwa pengetahuan manusia muncul dari dua sumber utama dalam benak
yakni fakultas penerimaan kesan-kesan inderawi (sensibility) dan fakultas
pemahaman (understanding) yang membuat keputusan-keputusan tentang kesan-kesan
inderawi yang diperoleh melalui fakultas pertama.
Kedua fakultas saling membutuhkan
dalam rangka mencapai suatu pengetahuan. Fakultas penerimaan bertugas menerima
kesan-kesan yang masuk dan menatanya dengan pengetahuan a apriori intuisi ruang
dan waktu. Fakultas pemahaman bertugas memasak yaitu menyatukan dan
mensintesakan pengalaman-pengalaman yang telah diterima dan ditata oleh
fakultas penerima selanjutnya diputuskan.
Dalam bekerja, fakultas pemahaman
memiliki sarana yang disebut kategori terdiri dari 12 item menjadi syarat
apriori. Kedua belas kategori ini adalah kuantitas (universal,
particular, singular), kualitas (affirmative, negative,
infinitive), relasi (categorical,
hypothetical, disjunctive) dan modalitas (problematical,
assertorical, apotidical).
Menurut Kant meskipun seluruh ide
dan konsep manusia bersifat apriori sehingga ada kebenaran apriori, namun ide
dan konsep hanya dapat diaplikasikan apabila ada pengalaman. Tanpa pengalaman,
seluruh ide dan konsep serta kebenaran tidak akan pernah bisa diaplikasikan.
Akal budi manusia hanya bisa berfungsi bila dihubungkan dengan pengalaman. Oleh
karena itu akal budi dan pengalaman inderawi, tidak dapat dianggap sebagai
dasar menyatakan keberadaan Tuhan. Bagi Kant, eksistensi Tuhan diperlukan
sebagai postulat bagi kehidupan moralitas (Hick, 1979). Pembahasan epistemologi
Kant dikaitkan dengan dua karyanya Kritik atas Rasio Murni dan Kritik Rasio
Praktis.
Kant menganggap kondisi tertentu
dalam pikiran manusia ikut menentukan konsepsi. Apa yang kita lihat dianggap
sebagai fenomena dalam ruang dan waktu yang disebut bentuk intuisi, mendahului
setiap pengalaman. Untuk pengenalan, Kant berargumen bahwa obyek mengarahkan
diri ke subyek. Tidak seperti filsuf sebelumnya yang mencoba mengerti
pengenalan dengan mengandaikan bahwa subyek mengarahkan diri ke obyek.
pengetahuan (knowledge) adalah sesuatu yang hadir dan terwujud dalam jiwa dan
pikiran seseorang dikarenakan adanya reaksi, persentuhan, dan hubungan dengan
lingkungan dan alam sekitarnya. Pengetahuan ini meliputi emosi, tradisi,
keterampilan, informasi, akidah, dan pikiran-pikiran. Dalam komunikasi
keseharian, kita sering menggunakan kalimat seperti, “Saya terampil
mengoperasikan mesin ini”, “Saya sudah terbiasa menyelesaikan masalah itu”,
“Saya menginformasikan kejadian itu”, “Saya meyakini bahwa masyarakat pasti
mempercayai Tuhan”, “Saya tidak emosi menghadapi orang itu”, dan “Saya
mempunyai pikiran-pikiran baru dalam solusi persoalan itu”.
Pengetahuan adalah suatu keadaan
yang hadir dikarenakan persentuhan kita dengan suatu perkara. Keluasan dan
kedalaman kehadiran kondisi-kondisi ini dalam pikiran dan jiwa kita sangat
bergantung pada sejauh mana reaksi, pertemuan, persentuhan, dan hubungan kita
dengan objek-objek eksternal. Walhasil, makrifat dan pengetahuan ialah suatu
keyakinan yang kita miliki yang hadir dalam syarat-syarat tertentu dan terwujud
karena terbentuknya hubungan-hubungan khusus antara subjek (yang mengetahui)
dan objek (yang diketahui) dimana hubungan ini sama sekali kita tidak ragukan.
John Dewey menyamakan antara hakikat itu sendiri dan pengetahuan dan beranggapan
bahwa pengetahuan itu merupakan hasil dan capaian dari suatu penelitian dan
observasi. Menurutnya, pengetahuan seseorang terbentuk dari hubungan dan
jalinan ia dengan realitas-realitas yang tetap dan yang senantiasa berubah.
Dalam pengetahuan sangat mungkin terdapat dua aspek yang berbeda, antara lain:
1. Hal-hal yang diperoleh. Pengetahuan seperti ini mencakup tradisi, keterampilan, informasi, pemilkiran-pemikiran, dan akidah-akidah yang diyakini oleh seseorang dan diaplikasikan dalam semua kondisi dan dimensi penting kehidupan. Misalnya pengetahuan seseorang tentang sejarah negaranya dan pengetahuannya terhadap etika dan agama dimana pengetahuan-pengetahuan ini nantinya ia bisa aplikasikan dan menjadikannya sebagai dasar pembahasan.
Dalam pengetahuan sangat mungkin terdapat dua aspek yang berbeda, antara lain:
1. Hal-hal yang diperoleh. Pengetahuan seperti ini mencakup tradisi, keterampilan, informasi, pemilkiran-pemikiran, dan akidah-akidah yang diyakini oleh seseorang dan diaplikasikan dalam semua kondisi dan dimensi penting kehidupan. Misalnya pengetahuan seseorang tentang sejarah negaranya dan pengetahuannya terhadap etika dan agama dimana pengetahuan-pengetahuan ini nantinya ia bisa aplikasikan dan menjadikannya sebagai dasar pembahasan.
2. Realitas yang terus berubah. Sangat mungkin pengetahuan
itu diasumsikan sebagai suatu realitas yang senantiasa berubah dimana perolehan
itu tidak pernah berakhir. Pada kondisi ini, seseorang mengetahui secara khusus
perkara- perkara yang beragam, kemudian ia membandingkan perkara tersebut satu
sama lain dan memberikan pandangan atasnya, dengan demikian, ia menyiapkan
dirinya untuk mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru yang lebih global.
Secara lahiriah, keberadaan kedua
dimensi di atas bersifat logis dan tak berpisah satu sama lain. Pengetahuan itu
tidak bisa dipandang sebagai suatu realitas yang konstan, tetap, tak berubah,
dan tak hidup yang terdapat dalam ruang pikiran manusia, hal ini disebabkan
oleh kenyataan bahwa jiwa manusia itu adalah tunggal dan satu, persentuhan
manusia yang terus menerus dengan objek-objek eksternal dan syarat-syarat yang
berbeda, aktivitas dan pengaruh potensi-potensi akalnya, pembentukan
konsepsi-konsepsi dan perubahannya, sisi-sisi beragam dari pengalaman manusia,
perubahan terus menerus yang terjadi pada aspek empirik manusia, dan perubahan
kualitas persepsi dan analisa pikiran atas objek.
Pendapat mengenai pendefinisian pengetahuan, antara lain:
Pengetahuan
itu tidak bisa didefinisikan, karena pengetahuan itu bersifat gamblang dan
aksiomatik. Dan pendefinisian bagi perkara-perkara yang gamblang dan aksiomatik
adalah hal yang mustahil (yakni akan terjadi daur atau lingkaran setan). Untuk
menegaskan kegamblangan ilmu dan pengetahuan itu bisa berpijak pada beberapa
hal:
a. Pengetahuan itu sendiri merupakan perkara-perkara kejiwaan dan kefitraan. Dan Setiap perkara kefitraan dan kejiwaan itu bersifat aksiomatik dan badihi.
b. Pengetahuan yang mutlak bersumber dari pengetahuan yang khusus dan terbatas seperti pengetahuan manusia pada wujudnya sendiri yang bersifat aksiomatik. Dan pengetahuan yang berasal dari hal-hal yang aksiomatik adalah juga bersifat aksiomatik dan gamblang.
c. Apabila pengetahuan itu bisa didefinisikan, maka akan berkonsekuensi pada kemustahilan pengetahuan manusia terhadap realitas bahwa “ia mengetahui sesuatu”, yakni pengetahuan manusia itu sendiri pertama-tama harus didefinisikan, barulah kemudian ia memahami bahwa dirinya memiliki pengetahuan terhadap sesuatu. Hal ini mustahil, karena keberadaan pengetahuan bagi manusia adalah bersifat fitri dan pengetahuan kepada perkara fitrawi ialah hal yang mungkin, yakni tidak butuh kepada definisi sebelumnya.
a. Pengetahuan itu sendiri merupakan perkara-perkara kejiwaan dan kefitraan. Dan Setiap perkara kefitraan dan kejiwaan itu bersifat aksiomatik dan badihi.
b. Pengetahuan yang mutlak bersumber dari pengetahuan yang khusus dan terbatas seperti pengetahuan manusia pada wujudnya sendiri yang bersifat aksiomatik. Dan pengetahuan yang berasal dari hal-hal yang aksiomatik adalah juga bersifat aksiomatik dan gamblang.
c. Apabila pengetahuan itu bisa didefinisikan, maka akan berkonsekuensi pada kemustahilan pengetahuan manusia terhadap realitas bahwa “ia mengetahui sesuatu”, yakni pengetahuan manusia itu sendiri pertama-tama harus didefinisikan, barulah kemudian ia memahami bahwa dirinya memiliki pengetahuan terhadap sesuatu. Hal ini mustahil, karena keberadaan pengetahuan bagi manusia adalah bersifat fitri dan pengetahuan kepada perkara fitrawi ialah hal yang mungkin, yakni tidak butuh kepada definisi sebelumnya.
Dengan demikian, ilmu manusia, tanpa
pendefinisian sebelumnya, kepada realitas bahwa “ia memahami sesuatu” ialah
bersifat mungkin. Pengetahuan manusia bahwa “ia mengetahui sesuatu” adalah ilmu
kepada “hubungan zatnya dengan ilmu”, dan ilmu kepada “hubungan suatu perkara
kepada perkara lain” ialah bergantung atas ilmu pada salah satu dari subjek dan
predikatnya.
Sesungguhnya definisi hakiki
pengetahuan adalah hal yang mustahil, karena pada hakikatnya pengetahuan itu
identik dengan eksistensi dan wujud, dan eksistensi – sebagaimana diketahui
dalam pembahasan ontologi – secara hakiki adalah mustahil untuk didefinisikan.
Apabila pengetahuan itu bisa didefinisikan, maka sebenarnya bukanlah definisi
yang hakiki. Dalam hal ini, banyak definisi yang telah dilontarkan berkaitan
dengan pengetahuan ini, akan tetapi hanya beberapa yang bisa mencakup segala
cabang-cabang pengetahuan dan bersifat komprehensif.
Pengetahuan adalah pencerminan objek
eksternal dalam pikiran. Dalam kitab klasik ilmu logika, pengetahuan itu
didefinisikan sebagai suatu gambaran objek-objek eksternal yang hadir dalam
pikiran manusia. Definisi ini juga disepakati oleh sebelas orang filosof dan
ilmuwan Rusia. Akan tetapi, apabila kita mencermati definisi di atas, maka
definisi tersebut hanya mencakup llmu hushuli dan tidak termasuk ilmu hudhuri,
karena ilmu hudhuri bukanlah suatu “gambaran” dan “refleksi” objek-objek
eksternal di alam pikiran.
Pengetahuan terbagi dua:
Ilmu hushuli, yakni suatu
pengetahuan yang dihasilkan dengan menggunakan media panca indera sebagai
perantara hubungan dengan alam eksternal dan kehadiran gambaran objek-objek
eksternal di alam pikiran itu melalui fakultas-fakultas lahiriah. Dengan
ungkapan lain, ilmu hushuli adalah suatu ilmu yang hanya berhubungan dengan
konsepsi dan gambaran dari objek-objek eksternal, seperti ilmu manusia kepada
maujud-maujud eksternal.
Dalam ilmu ini terdapat tiga hal yang prinsipil:
a.
Subjek
yang mengetahui yang bernama manusia
Maujud-maujud eksternal dan hakiki (dimana dalam istilah
filsafat disebut dengan “objek pengetahuan yang aksidental (ma’lum bil
‘aradh)”, yakni objek yang diketahui secara aksidental); Suatu konsepsi yang
bernama gambaran pikiran (dimana dalam istilah filsafat dikatakan sebagai
“objek pengetahuan yang esensial” (ma’lum bizzat), yakni objek yang diketahui
secara esensial).
b.
Ilmu
hudhuri, yakni suatu ilmu tidak membutuhkan suatu media sebagai perantara, akan
tetapi objek pengetahuan itu sendiri (bukan gambaran dari objek itu) yang hadir
secara langsung dalam diri subjek. Apabila dalam ilmu hushuli terdapat tiga
perkara yang fundamental, maka dalam ilmu hudhuri hanya ada dua hal yang
mendasar dan terkadang hanya satu hal. Yakni dalam ilmu ini tidak ada
“gambaran” dari objek ilmu. Ilmu hudhuri terbagi dalam dua bagian:
1. Terkadang dalam ilmu hudhuri hanya terdapat dua dimensi mendasar, seperti pengetahuan kita terhadap gambaran pikiran kita sendiri, apabila kita mengetahui objek-objek eksternal melalui gambaran pikiran sebagai media perantara, maka gambaran pikiran itu sendiri telah menjadi jelas bagi kita tanpa media perantara dan pengenalan kita kepada gambaran pikiran kita sendiri tak lagi melalui gambaran-gambaran yang lain, karena kalau demikian, maka dalam pengenalan tersebut akan hadir rangkaian gambaran-gambaran yang tak terbatas jumlahnya. Oleh sebab itu, di sini hanya ada dua aspek yaitu subjek yang mengetahui (‘âlim) dan objek pengetahuan yang esensial (ma’lum bizzat) yang dalam hal ini adalah gambaran pikiran itu sendiri;
2. Bentuk lain dari ilmu hudhuri adalah kesatuan dan kemanunggalan antara ‘âlim (subjek yang mengetahui), ma’lum bizzat (objek pengetahuan yang esensial), dan ‘ilm (pengetahuan), seperti ilmu kita terhadap diri kita sendiri yang dalam filsafat dikatakan sebagai ‘ilm al-insan bizatihi (ilmu manusia kepada zatnya sendiri)[4]. Ilmu manusia seperti ini adalah bersumber dari manusia itu sendiri dan pengetahuannya itu menyatu dengan wujudnya sendiri, yakni manusia yang disamping sebagai subjek yang mengatahui, ia juga sebagai objek pengetahuan.
1. Terkadang dalam ilmu hudhuri hanya terdapat dua dimensi mendasar, seperti pengetahuan kita terhadap gambaran pikiran kita sendiri, apabila kita mengetahui objek-objek eksternal melalui gambaran pikiran sebagai media perantara, maka gambaran pikiran itu sendiri telah menjadi jelas bagi kita tanpa media perantara dan pengenalan kita kepada gambaran pikiran kita sendiri tak lagi melalui gambaran-gambaran yang lain, karena kalau demikian, maka dalam pengenalan tersebut akan hadir rangkaian gambaran-gambaran yang tak terbatas jumlahnya. Oleh sebab itu, di sini hanya ada dua aspek yaitu subjek yang mengetahui (‘âlim) dan objek pengetahuan yang esensial (ma’lum bizzat) yang dalam hal ini adalah gambaran pikiran itu sendiri;
2. Bentuk lain dari ilmu hudhuri adalah kesatuan dan kemanunggalan antara ‘âlim (subjek yang mengetahui), ma’lum bizzat (objek pengetahuan yang esensial), dan ‘ilm (pengetahuan), seperti ilmu kita terhadap diri kita sendiri yang dalam filsafat dikatakan sebagai ‘ilm al-insan bizatihi (ilmu manusia kepada zatnya sendiri)[4]. Ilmu manusia seperti ini adalah bersumber dari manusia itu sendiri dan pengetahuannya itu menyatu dengan wujudnya sendiri, yakni manusia yang disamping sebagai subjek yang mengatahui, ia juga sebagai objek pengetahuan.
Dengan memperhatikan kedua ilmu ini,
hushuli dan hudhuri, menjadi jelaslah bahwa hanya bagian ilmu hushuli saja yang
tercakup dalam definisi tersebut di atas. Dengan demikian, definisi tentang
pengetahuan tersebut tidaklah sempurna dan komprehensif sehingga dapat meliputi
semua cabang-cabang pengetahuan. pertanyaan epistimologi atau pengetahuan
menurut Imanuel Kant Epistemologi atau teori pengetahuan berhubungan dengan
hakikat ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta
pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh
setiap manusia yang diperoleh melalui akal dan panca indera dengan berbagai
metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme,
metode kontemplatis dan metode dialektis.
Keempat.
Apakah manusia itu yang jawabannya antropologiatau manusia
menurut Imanuel Kant Antropologi adalah ilmu tentang manusia, masa lalu
dan kini, yang menggambarkan manusia melalui pengetahuan ilmu sosial dan ilmu
hayati (alam), dan juga humaniora. Antropologi berasal dari kata Yunani
άνθρωπος (baca: anthropos) yang berarti "Manusia" atau
"orang", dan logos yang berarti "wacana"
(dalam pengertian "bernalar", "berakal") atau secara
etimologis antropologi berarti ilmu yang memelajari manusia.
Antropologi bertujuan untuk lebih
memahami dan mengapresiasi manusia sebagai spesies homo sapiens dan makhluk
sosial dalam kerangka kerja yang interdisipliner dan komprehensif. Oleh karena
itu, antropologi menggunakan teori evolusi biologi dalam memberikan arti dan
fakta sejarah dalam menjelaskan perjalanan umat manusia di bumi sejak awal
kemunculannya. Antropologi juga menggunakan kajian lintas-budaya dalam
menekankan dan menjelaskan perbedaan antara kelompok-kelompok manusia dalam
perspektif material budaya, perilaku sosial, bahasa, dan pandangan hidup (worldview).
Dengan orientasinya yang holistik,
antropologi dibagi menjadi empat cabang ilmu yang saling berkaitan, yaitu:
antropologi biologi, antropologi sosial budaya, arkeologi, dan linguistik.
Keempat cabang tersebut memiliki kajian-kajian konsentrasi tersendiri dalam
kekhususan akademik dan penelitian ilmiah, dengan topik yang unik dan metode
penelitian yang berbeda.
Antropologi atau manusia Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan
orang lain, oleh karena itu manusia senantiasa membutuhkan interaksi dengan manusia yang lain. Seorang Antropologi Indonesia yaitu Koentjaraningrat
menyatakan bahwa masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi
menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat terus menerus, dan
yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Pandangan yang dikemukakan oleh
Koentjaraningrat tersebut menegaskan bahwa di dalam masyarakat terdapat
berbagai komponen yang saling berinteraksi secara terus menerus sesuai dengan
sistem nilai dan sistem norma yang di anutnya. Interaksi antar komponen tersebut
dapat terjadi antara individu dengan individu, antara lain individu dengan
kelompok, maupun antara kelompok dengan kelompok.
- Menurut Bapak Sokrates, manusia
adalah makhluk yang hidup berkaki dua yang tidak berbulu dengan kuku datar
dan lebar. Cukup aneh, akan tetapi pada masa itu cukup untuk menggambarkan
apa itu manusia, walaupun hanya sebatas morfologi atau penampakan luar saja.
- Menurut bapak
Aristoteles, seorang pemikir hebat, memberikan definisi manusia sebagai “Zoon politicon”, atau sebagai
makhluk sosial. Sosial yang dimaksud disini adalah mampu berinteraksi
dengan makhluk makhluk lainnya.
- Berdasarkan
Upanisads, pengertian manusia adalah kombinasi dari unsur unsur roh atau
atman, jiwa, pikiran dan prana/jasad fisik.
- Menurut Linneaus,
seorang ahli biologi bahwa manusia adalah “Homo sapiens”. Homo sapiens
merupakan bahasa latin yang berarti makhluk yang berakal budi atau memiliki
akal (akan dijelaskan dalam pengertian akal).
- Pengertian manusia
oleh Bapak Kees Bertens bahwa manusia adalah suatu
makhluk yang terdiri atas dua unsur yang tidak dapat dinyatakan
kesatuannya. Hal yang dimaksud adalah roh atau jiwa beserta tubuhnya tidak
dapat ditampakkan menjadi dua bagian.
- Salah satu
pengertian manusia yang cukup saya suka adalah dari I Wayan Watra yang
menuliskan bahwa, manusia adalah mahluk yang dinamis dengan trias
dinamikanya, yaitu cipta, rasa dan karsa.
- Menurut Bapak
Abineno J. I bahwa definisi manusia adalah sebuah “tubuh yang berjiwa” dan
bukan “jiwa abadi yang berada atau yang terbungkus dalam tubuh yang fana”
. Dalam juga yang pengertian manusia menurut Bapak yang satu ini.
- Pengertian manusia
yang lain dan lebih epik dinyatakan oleh Ibu Paula J.C dan Ibu Janet W.K
adalah makhluk yang terbuka, bebas memilih makna dalam situasi, mampu
mengembang tanggung jawab atas keputusan yang hidup secara kontinu serta
turut menyusun pola berhubungan dan unggul multidimensi dengan berbagai
kemungkinan.
- Kemudian, Raves
juga memberikan pengertian tambahan tentang manusia yaitu sebagai “Homo
loquen”. Menurut Raves, pengertian manusia adalah makhluk yang pandai
berbahasa dan menjelmakan pikiran dan perasaan dalam kata kata yang
tersusun.
Bergson
, juga ikut memberikan nama lain untuk manusia yaitu “Homo faber”, Menurutnya
pengertian manusia adalah makhluk yang pandai membuat alat pertukangan.
Dari
pertanyaan-pertanyaan Imanuel Kant menjadi sumber ilmu pengetahuan yang
bernmnfaat bagi kelangsungan hidup karena pemikiran-pemikiran yang
filsafati, karena filsafat adalah akar
dari segala pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
John Dewey, Philosophy of Education,
hal. 14.
Mulla Sadra, Hikmah Muta’âliyah,
jilid ketiga, hal 279. Dan Mafatihul Ghaib, hal, 99
Snyder,
C.R. (2000). Hypothesis: There is Hope. In C.R. Snyder (Eds.),Handbook of Hope Theory,
Measures and Applications (pp.3-21). San Diego: Academic Press.
Shorey,
H.S., Snyder, C.R., Rand, K.L., Hockemeyer, J.R., & Feldman, D.B. (2002).
Somewhere Over the Rainbow: Hope Theory Weathers Its First Decade. Psychological
Inquiry, 13 (4), 322-331.
Mulla Hadi Zabzawari, Syarh-e
Manzumah, hal. 39, bagian metafisika khusus.
https://id.wikipedia.org/wiki/Harapan
https://id.wikipedia.org/wiki/Harapan
fahmi,
Nurul. 2015. Mata kuliah etika profesi sanitarian.
Diperoleh dari http://nurulfahmikesling.blogspot.co.id
Penulis.
2012. Manusia dan harapan. Diperoleh dari
http://everythings-a-miracle.blogspot.co.id
Olive,
Yulia. 2016. Mengkaji 4 pertanyaan immanuel
kant. Diperoleh dari http://yuliaolive.blogspot.co.id
Penulis.
2016. Belajar pengertian manusia secara
umum dan penjelasannya. Diperoleh dari http://hariannetral.com
Penulis.
2013. Pengertian manusia. Diperoleh
dari http://www.temukanpengertian.com
Penulis. 2012. ciri-ilmu-pengetahuan.
diperoleh dari https://teorionline.wordpress.com
Penulis. . definisi pengetahuan serta faktor faktor yang mempengaruhi pengetahuan.
diperoleh dari http://duniabaca.com
Komentar
Posting Komentar