Pemikiran Imam Ghajali

Pemikiran Imam Ghajali



Nama lengkap dari Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad ibnu Ahmad Al-Ghazali Al-Thusi. Lahir pada tahun 450 H/1058 M di Ghazalah, Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam Iran. Dengan demikian, ia adalah keturunan persia asli. Orang tuanya gemar mempelajari ilmu tasawuf, karenanya ia (orang tua) hanya mau makan dari hasil usaha tangannya sendiri dari menenun wol. Panggilan Al-Ghazali sebagai sebutan penduduk Khurasan kepadanya. Sebagian ahli sejarah menyebutnya Al-Ghazali sehubungan dengan desa tempat dia dilahirkan, yaitu Ghazalah.
Al-Ghazali belajar di Thus, Jurjan, dan Naisabur. Sampai usia 20 tahun  ia menuntut ilmu dikota kabupatennya thus  dari kedua gurunya Razakani bin Muhammad dan Yusuf Al-Nassaj seorang sufiwan terkenal pada tahun 479 H. Ia menimba ilmunya Abu Nasr Al-Isma’ily di Jurjan dan akhirnya ia masuk kesekolah Nizhamiyah di Naisabur yang dipimpin oleh al-Juwaini (Imam Al-Karamain). Selanjutnya ia bermukim di Mu’askar (komplek tentara) selama 5 tahun dan di Baghdad selama 5 tahun berikutnya. Di Baghdad inilah ia menjadi pemimpin dan guru besar Madrasah Nizhamiyah Baghdad. Ia berusaha keras menjadi mempelajari Filsafat dan menunjukan pemahamannya tentang filsafat dengan menulis buku Maqasad al-Falasafiyah (tentang pemahaman para Filosof, tentu menurut pemahaman Al-Ghazali), kemudian menunjukan kemampuannya mengkritik argumen-argumen para filosof dengan menulis Tahafut al-falasafiyah (ketidak konsistenan para filosof), dalam rangka memberikan kesan tentang kelemahan atau kekacauan pemikiran para filosof muslim. Setelah sembuh dari mengalami sakit yang parah selama 6 bulan (kehilangan nafsu makan dan tidak bisa bicara) karena konflik batin: sama kuat antara dorongan untuk berada di baghdad (memimpin dan mengajar di Nizhamiyah Baghdad) dan dorongan untuk meninggalkan Baghdad (untuk menjalani tasawuf) ia berhasil menjalani kehidupan tasawuf selama 10 tahun di Damaskus, Yerusalem, Mekkah, Madinah, dan Thus. Setelah mengajar lagi di Naisabur selama 2 tahun, ia kembali lagi ke Thus mendirikan Khankah (pusat latihan) bagi calon sufi. Usaha ini ia lakukan sampai ia wafat di Thus pada tanggal 14 jumadil akhir 505 H, itu dalam usia 55 tahun. Jasadnya dikebumikan disebelah Timur benteng dekat Thabaran berdampingan dengan makam penyair yang terkenal Al-Firdausy.
Al-Ghazali diberi gelar kehormatan dengan Hujjat al-Islam (argumentasi islam) karena pembelaannya yang mengagumkan terhadap agama Islam, terutama terhadap kaum Bathiniyat dan kaum Filosof. Karenanya statemen yang dikemukakan sarjana-sarjana Eropa (juga sebagian orang Islam) bahwa ia adalah Muslim terbesar sesudah Muhammad.
Al-Ghazali adalah Fakih, Mutakallim, dan Sufi. Ia mahir bicara dan sangat produktif dalam mengarang. Karya tulisannya lebih dari 228 buku/risalah. Dibawah ini hanya akan disebutkan beberapa warisan dari karya ilmiahnya yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam:
·         Ihya’ Ulum Al-Din, berisikan kumpulan pokok-pokok agama dan akidah, ibadah, akhlak, dan kaidah-kaidah suluk.
·         Al-Iqtishad fi al-i’tiqad, diuraikan didalamnya akidah menurut aliaran al-asy’ariyah
·         Maqasid al-falasifat, berisikan ilmu mantiq, alam, dan ketuhanan
·         Taqafut al-falasafiyah, berisikan kritikan terhadap para Filosof.
·         Al-Munqiz min al-Dhalal, dipaparkan didalamnya seperangkat ilmu yang mewarnai zamannya dan berrbagai aliran yang penting. Ilmu dan aliran-aliran tersebut dikajinya secara kritis, kemudian dijelaskan kelebihan dan kesalahan-kesalahnya.
·         Mizan al-‘amal, didalamnya berisikan penjelasan tentang akhlak.
*      Filsafat
*      Masalah keqadiman Alam
Pada umumnya para filosof bependapat bahwa alam ini qadim, artinya wujud alam bersamaan wujud Allah. Keqadiman Allah dari alam hanya dari segi zatnya dan tidak dari segi zaman. Bagi Al-Ghazali, bila alam dikatakan Qadim (tidak pernah tidak ada), maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi paham qadimnya alam, menurut Al-Ghazali bahwa alam itu ada dengan sendirinya, tidak diciptakan oleh Tuhan, dan ini bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an.
Bagi Al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti  pada awalnya tuhan ada, sedang alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan Alam, maka alam ada disamping adanya Tuhan. Sebaliknya bagi para filosof muslim yang berpaham bahwa alam itu qadim, seperti bagi Al-farabi dan Ibnu Sina, bahwa alam itu qadim sedikitpun tidak dipahami mereka dengan pengertian bahwa alam ada dengan sendirinya.
1.       Metafisika
Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.
Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.
Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan matematika.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran tentang filsafat metafisika yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya para filosof dinyatakan kafir.
2.      Iradat Tuhan
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.
Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatNya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.
Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap berkuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api itu atau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.
3.      Etika
Mengenai filsafat etika Al-Ghazali pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.
Bagi Al-Ghazali, taswuf bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari syari’at, hal ini nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam kitab Ihya’nya yang merupakan perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang berarti kewajiban agama haruslah dilaksanakan guna mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam melaksanakan haruslah dengan penuh rasa yakin dan pengertian tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya.

Sumber:
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 176.

Thaha Abdul Baqi Surur, Imam Al-Ghazali: Hujjatul Islam, (Jakarta: Pustaka Mantiq, tth), Hlm. 20-21.

Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Imam Al-Gazali, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), hlm. 31-32. Diperoleh dari http://multazam-einstein.blogspot.co.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemikiran Richard L. Lanigan

Fungsi Batin Terhadap Pembentukan Kepribadain

Pertanyaan Filsafat Imanuel Kant