Pemikiran Filsafat Alfarabi

Pemikiran Filsafat Alfarabi

Al-Farabi adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tapi dengan kompetensi, kreativitas, kebebasan berpikir dan tingkat sofistikasi yang lebih tinggi lagi. Jika al-Kindi dipandang sebagai seorang filosof Muslim dalam arti kata yang sebenarnya, Al-Farabi disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida studi falsafah dalam Islam yang sejak itu terus dibangun dengan tekun. Ia termasyhur karena telah memperkenalkan doktrin “Harmonisasi pendapat Plato dan Aristoteles”. Bahkan sejumlah kalangan menyebutnya sebagai “the second Master” atau Maha Guru Kedua setelah panutannya Aristoteles.

Nama lengkap Al Farabi adalah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad Ibnu Turkhan Ibnu Uzlaq Al Farabi. Dinamai dengan Al Farabi karena dihubungkan dengan Farab, salah satu orang Turki yang terletak di daerah. Khurasan dekat dengan sungai Situn (Transoxiana). Beliau kelahiran bangsa Turki tetapi mempunyai hubungan darah dengan bangsa Persi. Beliau lahir pada tahun 259 H/879 M di Farab dan wafat di Aleppo pada tahun 339 H/950 M. (Dalam Ensiklopedi Islam lahir pada tahun 257 H/870 M dan wafat pada tahun 337 H/950 M, dalam buku Khazanah Intelektual Islam). Ayahnya adalah seorang jendral dan seorang Iran yang menikah dengan wanita Turkistan dan kadang-kadang disebut keturunan Iran.
Dalam filsafat AlFarabi tergolong di dalam kelompok filsuf kemanusiaan. Ia lebih mementingkan soal-soal kemanusiaan seperti akhlaq (etika) terhadap intelektual politik dan seni. Dan menurut Prof. Gilson menyatakan bahwa ia amat mencintai tokoh filsafat (Plato & Aristoteles). Filsafat Al Farabi sebenarnya merupakan campuran antara filsafat Aristoteles dan Neo Platonisme dengan pikiran keislaman yang jelas dan aliran Syiah Imamiah. Dalam soal mantiq dan filsafat fisika umpamanya, ia pengikut pemikiran-pemikiran Aristoteles. Sedangkan dalam lapangan metafisika Al Farabi mengikuti jejak Plotinus.
Al Farabi dapat juga dipandang sebagai pelopor klasifikasi ilmu pengetahuan. Ia membuat klasifikasi ilmu ke dalam tujuh bagian, yaitu : logika, percakapan (ilmi Al lisan), metematika, fisika, metafisika, politik dan ilmu agama.
Abu Nashr ahli pula dalam bidang ilmu musik. Dialah yang meletakkan dasar-dasar pertama ilmu musik dalam sejarah. Karenanya ia diberi gelar “Guru Pertama” dalam ilmu musik. Musik telah dikenal semenjak zaman Phytagoras. Phytagoras telah membuat ikhtisarnya menjadi beberapa bagian harmoni. Al Farabi berusaha menyempurnakan ilmu musik dan menerangkan di mana kekurangan-kekurangan Phytagoras.
Selama di Baghdad ia menghabiskan waktunya menulis karya-karyanya :
Agrad Al Kitab Ma Ba’da At Tabi’ah (Intisari buku Metafisika)
·         Al Jam’u Baina Ra’yai Al Hakimaini (mempertemukan dua pendapat filsuf : Plato dan Aristoteles)
·         ‘Uyun Al Masa’il (Pokok-pokok Persoalan)
Pikiran-pikiran Pendidikan Kota
·         Ihsa’ Al Ulmu
·         Al madinatul Fadlilah (Negeri Utama)
·         Risalah Assiyassiyah
·         Assaamarotul Mardliyayah
·         Al Majau
Dalam bidang fisika :
·         On Vacum
·         Against Astrology
Dalam bidang Metafisika :
·         About the Scope of Aristoteles Metaphysizs
·         On the one (Fi Al Wahid dan Wahda)
Ide pokok pemikiran al farabi. Dalam buku Al Farabi yang berjudul Risalah Fisiyah, seperti yang dikutip oleh Oemar Amin Husain, mengatakan bahwa :
·         Anak Membawa Sifat Baik dan Buruk dan kemampuan itu. 
Anak-anak berbeda pembawaannya satu sama lain. Oleh karena itu apa yang diajarkan harus disesuaikan dengan perbedaan pembawaan dan kemampuan itu. Karena diantara anak-anak yang berwatak buruk itu akan dipergunakannya untuk tujuan perbuatan-perbuatan buruk, maka seharusnya pendidikan membawa mereka ke dalam pembinaan. Pemberian pelajaran yang mungkin dipergunakannya untuk tujuan buruk, hendaknya dicegah secepat mungkin dengan pendidikan akhlaq.
·         Melakukan Pembinaan Diri (Tafakur)
Pembinaan diri pribadi ke arah jalan yang terbaik yaitu agar mengadakan hal ikhwal kepada masyarakat, bangsa-bangsa dan pekerja-pekerja merekaserta hal ikhwal pejabat-pejabat pemerintah dari mereka baik langsung disaksikannya atau tidak langsung dari apa yang didengarkannya dan lalu ia memperhatikan sungguh-sungguh dan menganalisis semua yang diketahuinya itu dan mengklasifikasikan antara kebaikan dan keburukannya antara yang bermanfaat dan madhorot terhadap mereka. Sesudah itu hendaklah ia berijtihad sungguh-sungguh untuk mengambil mana kebaikannya. Untuk memperolehnya dan hendaklah ia bersungguh-sungguh pula menghindari mana yang buruk, agar ia aman dari kemudhorotnya dan selamat dari malapetaka sebagaimana bangsa itu selamat. Dari pernyataan di atas dapat dipahami pendapat Al Farabi bahwa kriteria kebaikan dapat diangkat dari sejarah pengalaman manusia.
·         Anak Berbeda dalam Pemahaman/Kecerdasan
Di antara anak ada pula yang lemah kecerdasannya, yang sulit untuk dikembangkan. Kepada anak golongan ini diberikan mata pelajaran yang sesuai dengan kondisi mereka. Namun banyak pula dari anak-anak itu punya ahlaq yang luhur, pribadi yang baik, kepada mereka ini haruslah diberikan pendidikan dan pengajaran sebanyak-banyaknya sesuai dengan bakat pembawaan mereka.
·         Kekuatan Jiwa Manusia
Al Farabi membagi kekuatan-kekuatan jiwa ke dalam beberapa bagian :
*      Kekuatan-kekuatan gizi (Quwwatul ghariyah)
Dengan kekuatan ini manusia menghisap makanan (gizi)
*       Kekuatan-kekuatan Indrawi (Quwwatul Hassah)
Kekuatan indrawi timbul setelah kekuatan gizi. Dengan kakuatan indrawi manusia sanggup mengindra. Kekuatan pengindraan mempunyai sentral dan cabang-cabang yang disebut panca indra, dan otak sebagai sentral yang bertugas menghimpun seluruh apa yang ditangkap panca indra seutuhnya.
*      Kekuatan imajinasi (mutakhayyilah)
Berfungsi menyimpan dan memelihara segala yang diterima alat-alat indrawi
*      Kekuatan nathiqoh
*      Dengan daya ini seseorang dapat berpikir tentang hal-hal yang abstrak, membentuk pengertian-pengertian atau dengan kata lain dapat membuat keputusan yang mantap.
Bagi al-farabi, tujuan filsafat dan agama adalah sama, yaitu mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat memakai dalil-dalil yang yakiniy dan ditujukan kepada golongan tertentu, sedang agama memakai cara iqna’iy (pemuasan perasaan) dan kiasan-kiasan serta gambaran untuk semua orang. Pemahaman ini didasarkan pada pengertian al-farabi tentang filsafat sebagai upaya untuk mengetahui semua yang wujud karena ia wujud (al-ilm bil maujudat bima hiya maujudah).
Dalam tatanan falsafah an-nadhariyah atau filsafat teori (sebuah istilah yang digunakan al-Farabi untuk membedakannya dengan filsafat terapan atau al-falsafah al-amaliyah), al-farabi termasuk orang yang sangat hati-hati soal bocornya pembicaraan filsafat ke tangan orang awam. Ia berharap agar para filosoft menuliskan pendapat-pendapat atau falsafah mereka dalam gaya bahasa yang gelap, agar jangan dapat diketahui oleh sembarang orang, dan dengan demikian iman serta keyakinan mereka tidak menjadi kacau.
Falsafah al-Farabi merupakan suatu intelektual dalam bentuk kongkrit dari apa yang disebut “Falsafah Pemaduan” (al-Falsafah at-Taufiqiyah) sebagai ciri yang sangat menonjol dari falsafah Islam. Pemikirannya merupakan pemaduan falsafah Aristoteles, Plato dan New-Platonisme dengan pemikiran Islam yang bercorak aliran Syiah Imamiyah.
Dalam ilmu logika dan fisika, ia dipengaruhi oleh Aristoteles, dalam masalah akhlak dan politik, ia dipengaruhi oleh Plato, dan dalam masalah metafisika ia dipengaruhi oleh Plotinus. Oleh karena itu al-Farabi dipandang sebagi filosof Islam yang mula kali menciptakan falsafah Taufiqqiyah karena ia percaya adanya “Kesatuan Falsafah”(wahdatu al-Falsafah). Baginya, kebenaran itu hanya satu, sedangkan perbedaan pendapat hanyalah pada lahirnya saja, tidak pada hakkikat.
Sebenarnya usaha pemaduan ini sudah lama dimulai sebelum al-Farabi, dan telah mendapatkan pengaruh yang luas dalam lapangan falsafah, terutama sejak munculnya aliran neoplatonisme. Namun demikian, usaha al-Farabi lebih luas lagi karena ia bukan saja mempertemukan aneka aliran falsafah yang bermacam-macam, tetapi juga berkeyakinan bahwa aliran-aliran tersebut pada hakikatnya satu, meskipun berbeda corak-ragamnya. Untuk itu Guna memahami pemikiran Plato dan Aristoteles, Al-Farabi secara khusus membaca karya kedua pemikir besar Yunani itu, yakni On the Soul sebanyak 200 kali dan Physics sampai 40 kali.
Al-Farabi pun akhirnya mampu mendemonstrasikan dasar persinggungan antara Aristoteles dan Plato dalam sejumlah hal, seperti penciptaan dunia, kekekalan ruh, serta siksaan dan pahala di akhirat kelak. Konsep Farabi mengenai alam, Tuhan, kenabian, esensi, dan eksistensi tak dapat dipisahkan antara keduanya. Mengenai proses penciptaan alam, ia memahami penciptaan alam melalui proses pemancaran (emanasi) dari Tuhan sejak zaman azali.

Sumber:

Anonim.2015. biografi al-farabi. Diperoleh dari http://denuaeni98.blogspot.co.id

Anonim.2014. pemikiran filsafat alfarabi. Diperoleh dari http://alqolamu.blogspot.co.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemikiran Richard L. Lanigan

Fungsi Batin Terhadap Pembentukan Kepribadain

Pertanyaan Filsafat Imanuel Kant