Misteri Kematian Syekh Siti Jenar

“Misteri Kematian Syekh Siti Jenar”

Misteri kematian Syekh Siti Jenar menjadi kontroversial ketika banyak pihak meragukan apakah Syekh Siti Jenar nama seseorang yang benar-benar pernah hidup didalam sejarah. Kematian Sykeh Siti Jenar begitu misterius ketika ia memilih kematiannya sendiri untuk memenuhi hukuman mati yang dijatuhkan kepadanya. Hingga kini tidak juga jelas dimana letak jenazahnya. Dan sikap Walisongo yang menukar jenazah Sykeh Siti Zenar dengan bangkai anjing kudisan, ketika mereka melihat kenyataan semerbak harumnya jenazah jenazah Sykeh Siti Jenar yang bercahaya kemilau.
Zaman masa hidupnya Sykeh Siti Jenar, para wali kerajaan menggap Sykeh Siti Jenar telah menyebarkan pemahaman agama berdasarkan hawa nafsu, menyiarkan dan mengajarkan agama islam menurut pandangannya sendiri. Sykeh Siti Jenar dikabarkan juga menganggap dirinya sebagai Dzat Allah, dan memandang budi dan kesadaran manusia sebagai Tuhan itu sendiri. Tuhan menurut Sykeh Siti Jenar yang dikatakan ada didalam diri manusia itu juga mempunyai dua puluh sifat seperti segala sifat Tuhan yang secara umum dikenal pemeluk Islam. Seluruh sifat itu terkonsentrasi melekat dalam budi, sehingga budi manusia bisa kekal dan abadi dengan kodrat dan irodatnya. Inilah yang dipandang oleh Sykeh Siti Jenar dipandang sebagai ilmu sejati.
Sementara itu Sykeh Siti Jenar menganggap Tuhan Allah, yang dalam tradisi Hindu disebut Hyang Widi adalah wahyu yang tidak tampak dan terlihat mata itu, mirip dengan dirinya sendiri, mempunyai sifat kenampakan raga yang tiada tampak. Bagi Siti Jenar, Hyang Widi jika disebut dengan bahasa dunia itu bersifat “baka” dan “abadi”, tanpa antara tiada dikenai sakit ataupun tidak enak. Ia berada disana dan disini, bukan itu dan bukan ini. Segala tingkah laku yang hanya menuruti raga, adalah sesuatu yang baru. Segala sesuatu yang diciptakan karena isi bumi itu ialah angkasa yang hampa.
Apa yang disebut kodrat itu ialah yang paling berkuasa, tiada yang mirip atau yang menyamai. Kekuasaanya tanpa piranti, keadaan wujudnya tidak ada luar maupun dalam sebgai kesatuan dari segala yang beraneka ragam. Sementara apa yang disebut irodat karena pribadi dan keinginan hidup itu diteapkan oleh sendiri. Tidak mengenal ruh yang melestarikan kehidupan, tiada turut merasakan sakit ataupun lelah. Suka dukapun musnah karena tiada diinginkan hidup. Dengan demikian hidup dari suatu kehidupan itu berdiri sendiri menurut kehendak.
Sebagai seorang wali yang dikenal cerdas diakui oleh Wali Songo, pemikiran Sykeh Siti Jenar dikenal tajam dan yang kecakapanya melebihi kecakapan manusia pada umumnya. Beberapa pandangannya tentang Tuhan dan aturan-aturan syariah berbeda dengan pandangan yang berkembang dikalangan umat Islam pada umumnya. Siti Jenar, misalnaya, memandang tuhan bersemayam dalam dirinya dan bahwa shalat lima kali sehari dan dzikir itu adalah suatu keputusan hati, tergantung pada kehendak pribadi. Benar atau salah baginya ialah apa yang diterima dari pribadi sendiri sengan segala keberanian dan tanggung jawab. Gagasan adanya badan halus baginya bisa akan mematikan kehendak manusia, karena menurutnya posisi Hyang Sukma itu terletak didalam diri pribadi manusia.
Pandangan itu bisa dilihat dari pernyataan Sykeh Siti Jenar. Ia berkata: “Kelilinglah cakrawala dunia ini, membubunglah engkau kelangit yang tinggi, dan selamilah dalamnya bumi hingga lepas ke tujuh, engkau tidak akan bisa menemukan Wujud Yang Mulia. Kemana saja engkau pergi, engkau hanya akan menemukan kesunyian dan kesenyapan. Jika engkau pergi ke utara, ke selatan, ke barat, ke timur dan ketengah yang ada disemua tempat itu hanya disini adanya. Apa yang ada disini bukan wujud saya,  yang ada dalam diriku adalah kehampaan yang sunyi. Isi dalam daging tubuh ini adalah isi perut yang kotor, bukan jantung dan bukan pula otak yang terpisah dari tubuh, tetapi napas yang melaju pesat bagaikan anak panah terlepas dari busurnyalah yang bisa menjelajah ke Mekkah dan Madinah”.
Menurut Siti Jenar selanjutnya, dirinya bukan budi, bukan angan-angan hati, bukan pula pikirang yang sadar, niat, udara, angina, panas atau kekosongan dan kehampaan. Wujud dirinya hanyalah jasad yang akhirnya menjadi jenazah,yang membusuk tercampur tanah dan debu. Nafasnyalah yang mengelilingi dunia, meresap dalam tanah, apai, air, dan udara yang akhirnya kembali ketempat asal dan aslinya. Hal itu disebabkan karena semuanya merupakan barang baru, dan bukan yang asli. Hakikat dirinya dipandang sebagai dzat yang sejiwa dan menyukma didalam Hyang Widi.
Bagi Sykeh Siti Jenar, Tuhannya adalah Tuhan yang bersifat jalal dan jamal yaitu Yang Maha Mulia dan Maha Indah. Siti Jenar tidak mau melaksanakan shalat adalah karena kehendaknya sendiri karena itu ia tidak memerintahkan siapapun untuk shalat. Baginya orang shalat karena budinya sendiri yang memrintahkan. Namun budi itu bisa menjadi budi yang laknat dan melecehkan, yang tidak dapat dipercaya dan diturut, karena perintahnya berubah-ubah. Perkataannya tidak dapat dipegang tidak jujur, yang jika dituruti lalu berubah dan kadang mengajak mencuri.
Menurut pandangannya, pada waktu ia shalat, budaya bisa mencuri, dan pada waktu ia sedang berzikir bidinya melepaskan hati, menaruh hati kepada seorang, bahkan kadang-kadang dengan dzat Allah yang bersama dirinya, maka dirinya itu lah yang maha suci, dzat maulana yang nyata, yang tidak dapat dipikirkan dan tidah dapat di bayangkan. Syeh Siti Jenar menganggap budinya sejiwa dengan Hyang Widi. Karena itu, Syjeh Siti Jenar berpendapat ketika sayahadat, shalat dan puasa itu tidak diinginkan, maka itu bukanlah sesuatu yang perlu dilakuakannya. Demikian pula hanyalah dengan zakat dan naik haji, semua dipandang omong kosong, sebagai kedurjanahan budi dan penipuan terhadap sesama manusia.
Karena itu, menurut Sykeh Siti Jenar,hanya orang-orang yang dungu dan tidak tau saja yang menuruti aulia atau wali, hanya karena mereka diberi harapan surga kelak dikemudaian hari. Sykeh Siti Jenar jusru tidak pernah menuruti budi bersujud-sujud di masjid menggunakan jubbah dengan harapan memperoleh sejumlah pahala yang akan diterima nanti. Ketaatan seseorang bukan karena dahi dan kepalan tangannya sudah menjadi tebal. Baginya, ajaran seperti yang diajarkan para wali itu sesungguhnya masuk akal, karena didunia ini semua adalah sama, mengalami suka duka, menderita sakit dan nestapa, tiada bedanya dengan yang lain.
Berdasarkan pandangannya itu Sykeh Siti Jenar hanya setia epada satu hal yaitu Gusti Dzat Maulana yang luhur dan sakti, Yang Maha Kuasa dan Maha Besar. Pandangannya seperti ini sesungguhnya sama seperti yang diajarkan wali songo dan diyakini umumnya pemeluk islam. Demikian pula pandangannya bahwa Dzat Tuhan memiliki dua puluh sifat dan dan bahwa Tuhan berkuasa atas segala kehendaknya. Dialah Yang Maha Kuasa, pangkal mula segala ilmu. Maha Manusia,  Maha Mulia, Maha indah, Maha Sempurna, Maha Kuasa, rupa warna-Nya tanpa cacat, seperti hambanya.
Pandangan bahwa sifat Tuhan seperti hamba-nya di atas itulah yang antara lain letak perbedaan pandangan Sykeh Siti Jenar dengan Wali Songo. Hal itu juga menjadi makna kunci pandangannya bahwa didalam raga manusia, Gusiti itu tidak akan tampak, dia sangat sakti, menguasai segala yang terjadi, dan menjelajahi seluruh alam semesta. Siti jenar hanya berbuat baik dan menyembah atas kehendaknya. Tekad lahirnya dihapus, tingkah lakunya sama dengan pendapat yang ia lahirkan, berketapan hati dan berkiblat dan setia, teguh dalam penidiriannya, kukuh menyucikan dari diri segala yang kotor, dan bertekad sampai menemui ajalnya tidak menyembah kecuali kepada budi dzat tersebut.
Karena itu Siti Jenar menganggap dirinya Muhamad , sifat rasul yang sejati yang kudus. Baginya hidup manusia itu bersifat baru dan dilengkapi pancaindra sebagai barang pinjaman, yang jika sudah diminta oleh yang memikikinya, akan menjadi tanah yang membusuk, hancur lebur dan bersifat najis. Pancaindara tidak dapat dipakai sebagai pedoman. Budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindra, sehingga tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal apat menjadi gila, sedih, bingung, lupa, dan sering kali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak bersikap dengki terhadap sesama manusia demi kebahagiaan dari pribadi, bahkan kadang merusak kebahagiaan orang lain.
Berdasarkan pandangannya itu, Sykeh Siti Jenar memandang bahwa hasil pemikirang akal dan pancaindra tidak dapat dipercaya, kecuali hatinya. Ilmu demikian hanya bisa diperoleh dengan ketulusan karena kedengkianlah yang mendorong manusia melakukan perbuatan jahat dan kesombongan. Hal ini akan mengakibatkan manusia jatuh ke dalam lembah kenistaan yang baru dikemudian hari menyesali perbuatannya. Berbeda dengan dzat wajibul mMaulana, yang menjadi pemimpin budi menuju kesemua kebaikan. Citra manusia hanya ada dalam keinginan yang tunggal, sehingga manusia perlu memisahkan dzat wajibul maulana dengan budi, agar bisa menerima keinginan yang lain.
Sykeh Siti Jenar mengnggap dirinya mengetahui letak kemusnahan, yaitu dzat yang melanggengkan. Budi itulah yang bisa memutuskan beraneka ragam selubung, dan yang bisa lepas bagaikan anak panah tanpa bisa diketahui dimana busurnya. Syariat, tarekat hakikat dan makrifat bisa musnah tanpa dapat dipikirka, hingga sampailah seseorang diistana sifat sejati. Karena itubagi Siti jenar, kesaksian akan allah dalam syahadat yang tanpa rupa dan tiada tampak, akan membingungkan orang, jika mengetahui diri pribadi yang sejati. Sesungguhnya nama alllah itu untuk menyebut wakil-Nya dan yang diucapkan untuk menyatakan suatu janji. Nama itu ditumbukan menjadi sebuah kalimat yang diucapkan menjadi “Muhamad Rosulullah”. Padahal sifat kafir itu berwatak jisim yang baru, yang akan membusuk, hancur lebur bercampur tanah.
Menurut Sykeh Siti Jenar, semuannya akan berbeda ketika manusia bisa sejiwa dengan Dzat Yang Maha Luhur, Gagah Berani, Maha Sakti, dan yang menjelajahi alam semesta. Dialah yang menguasai dan memerintah yang bersifat wahdaniyat, yaitu dengan cara menyatukan diri dengan ciptaan-Nya. Ia dapat menjadi abadi mengembara yang  bergerak cepat yang kecepatannay melebihi anak peluru, anak pnah. Ia bukan budi dan bukan nyawa, bukan hidup, tanpa soal dari manapun, bukan pula kehendak dan tujuan ,. Dialah yang bersatu padu menjadi wujud dirinya. Tiada susah payah, kodrat kehendaknya bisa pergi kemana saja, tidak haus, tidak lelah, dan tanpa penderitaan serta tidak lapar. Kekuasaan dan kemampuan-Nya tidak ada yang bisa merintangi, sehingga pikiran dan kekerasan luluh tiada berdaya. Dari jiwa raganyalah timbul keatif bijaksanaan tanpa ia ketahui keluar dan masuk-Nya, tiba dirinya sudah berada didalam perjumpaan dengan tuhan.

Sumber:

Mulkham, Abdul, Munir.2015. Jalan Kematian Sykeh Siti Jenar. Yogyakarta: Narasi (Aggota IKPI)                                                                     


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemikiran Richard L. Lanigan

Fungsi Batin Terhadap Pembentukan Kepribadain

Pertanyaan Filsafat Imanuel Kant